August 30, 2015

Sukseskan Pilkada, Menjadikan Parpol Milik Publik



Menjadikan Parpol Milik Publik
Oleh Djayadi Hanan

Selain reformasi birokrasi, reformasi partai politik adalah agenda reformasi yang masih tertinggal jauh. Karena posisinya yang sentral dalam sistem  politik, kelambanan dan ketertinggalan reformasi partai politik menimbulkan banyak persoalan dalam subsistem politik yang lain.
Persoalan dalam kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, misalnya, banyak terkait dengan reformasi sistem kepartaian. Desentralisasi menghendaki pemberdayaan dan inisiatif dari daerah, tetapi berbenturan dengan kenyataan bahwa partai politik masih sangat sentralistis, dikuasai hanya sekelompok elite di Jakarta saja. Munculnya pemimpin daerah, yang nominasinya harus berasal dari partai politik, hanya dimungkinkan jika dia mendapat "restu" dari pusat. Dalam pemilu legislatif, hal yang sama terjadi. Hanya orang yang memiliki kedekatan dengan elite pemimpin partai di pusat yang mendapat kesempatan dicalonkan partai. 
http://nulisbuku.com/books/view_book/7216/strategi-sun-tzu-menangkan-pilkada
Salah satu sumber masalah dalam partai politik adalah ketergantungan partai yang sangat tinggi kepada figur tertentu atau sekelompok kecil orang partai di pusat. Partai bekerja seperti sebuah sistem oligarki, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip dasar sistem demokrasi. Penyebab sebuah partai dikuasai figur atau kelompok tertentu adalah pembiayaan partai biasanya ditanggung figur atau kelompok tersebut. Bukan hanya tampuk kepemimpinan partai yang dikuasai, juga hampir semua proses politik, termasuk rekrutmen politik yang menjadi salah tugas partai politik.
Karena sumber keuangan partai berasal dari figur atau elite saja, dampak lain adalah dijadikannya partai sebagai instrumen untuk mengakses sumber daya negara secara ilegal. Kader-kader partai yang sedang memegang tampuk kekuasaan di pusat dan daerah sering kali mendapat "tugas" mengisi pundi-pundi keuangan partai. Jika mereka tak bersedia melakukannya, hukuman dari penguasa partai sudah menunggu.
Reformasi partai lewat publik.Akibat lebih jauh dari keadaan partai seperti ini adalah partai menjadi tidak peduli terhadap publik. Logika atau motif dalam langkah-langkah politik partai mengutamakan kepentingan penguasa dan elite partai. Konsekuensinya, reformasi partai, yang jadi kebutuhan publik, juga sulit terlaksana karena publik tidak punya instrumen penekan agar elite partai menjalankan tekanan-tekanan publik.
Reformasi partai menjadi bergantung pada niat baik dan kemauan elite partai saja. Dengan demikian, sulit berharap adanya reformasi partai dengan cara seperti ini. Jalan tercepat tinggal melalui cara melibatkan publik. Untuk itu, partai harus dijadikan milik publik agar publik berkekuatan atau berdaya tekan sehingga partai memiliki insentif melaksanakan reformasi partai.
Secara teoretis, asal muasal partai adalah milik publik. Ini logis mengingat keberadaan partai pada dasarnya karena ada kebutuhan mewadahi aspirasi kelompok dalam masyarakat yang berbeda satu sama lain karena ideologi, orientasi kebijakan, demografi, atau alasan lain. Kelompok masyarakat inilah yang menjadi penyokong dan anggota partai. Kelompok masyarakatlah yang kemudian membiayai berbagai kegiatan partai. Para pengurus dan pemimpin partai adalah wakil atau agen dari anggota dalam mengusahakan agar kebijakan negara sesuai dengan ideologi dan atau orientasi kebijakan partai. Dengan mekanisme begitu, partai akan bekerja atas dasar kepentingan anggota dan publik yang diwakilinya.
Partai yang secara tradisional milik publik ini dapat dikatakan sudah hampir punah. Alasannya minimal dua. Pertama, jumlah anggota masyarakat yang mau menjadi anggota tetap partai politik makin merosot. Fenomena ini bersifat umum, bukan hanya di Indonesia. Sebagai contoh, di Inggris, jumlah anggota partai politik pada 1980 adalah 1,7 juta orang, sedangkan pada 2008 turun drastis menjadi 530.000 orang saja. Jumlah orang yang merasa memiliki kedekatan dan cenderung memilih partai tertentu juga sedikit dan mereka pun belum tentu mau jadi anggota partai. Di Indonesia, tingkat hal itu hanya di kisaran 15-20 persen. Ini berarti partai tak dapat mengandalkan anggota untuk sumber keuangannya. Maka, partai makin berorientasi elite dan lebih fokus pada proses pemilihan umum.
Kedua, perkembangan pola kampanye modern sudah bergeser dari semata-mata mengandalkan jaringan masyarakat di tingkat akar rumput ke kampanye berbasis media. Kampanye model ini sangat mahal, apalagi media yang lebih banyak jadi sumber informasi masyarakat adalah televisi yang berbiaya operasional amat tinggi. Kampanye modern juga memerlukan para konsultan profesional berbagai sektor, seperti politik, psikologi, dan komunikasi. Ini mengakibatkan kebutuhan pendanaan yang sangat besar bagi partai politik. Kebutuhan ini tak dapat disandarkan pada pembiayaan dari anggota saja.
Dengan demikian, kita tak dapat lagi mengandalkan sumbangan anggota sebagai sumber utama keuangan partai. Maka, harus dipakai cara kedua menjadikan partai milik publik. Cara kedua itu adalah menjadikan subsidi negara sebagai salah satu sumber utama keuangan partai. Sebetulnya sudah ada subsidi negara kepada partai saat ini, tetapi jumlahnya sangat minim sehingga tak dapat digunakan publik sebagai alat menekan partai melakukan reformasi. Menurut sejumlah perhitungan, subsidi negara hanya mampu membiayai kurang dari 1 persen pengeluaran partai di Indonesia.
Karena negara yang memberikan subsidi, berarti partai menggunakan dana publik. Partai harus mempertanggungjawabkan kepada publik bagaimana dana itu digunakan. Inilah jalan "memaksa" partai politik transparan atas aktivitas kepartaian secara berkala. Itu juga jalan agar partai tak dikuasai satu atau sekelompok kecil orang berduit.
Demokrasi internal.Partai yang melakukan transparansi secara alamiah juga akan melakukan demokratisasi internal. Spirit transparansi adalah demokrasi karena ia bermakna pengguna dana publik tunduk kepada kepentingan publik. Demokrasi internal partai akan menciptakan sirkulasi kepemimpinan partai secara sehat. Sirkulasi kepemimpinan partai mensyaratkan tersedianya kader terus-menerus. Konsekuensinya, partai harus terus-menerus memperluas jaringan pendukungnya agar orang-orang yang berbakat jadi pemimpin dapat terjaring. Partai perlahan-lahan akan melakukan praktik terbaik pengelolaan partai: demokrasi internal, transparansi, dan berorientasi konstituen.
Negara membiayai partai bukanlah fenomena unik. Hampir semua negara demokrasi saat ini melakukannya, dengan besaran berbeda-beda. Saat ini sekitar 75 persen negara demokrasi memberi subsidi berkala kepada partai politik. Biasanya 25-30 persen dari pengeluaran partai politik. Besaran yang diterima setiap partai biasanya didasarkan pada seberapa banyak suara yang diperoleh partai dalam pemilu.
Akan tetapi, sebelum subsidi negara diberikan kepada partai politik, diperlukan sejumlah langkah dan kebijakan untuk memastikan tujuan kebijakan ini tercapai. Sistem pengelolaan dan pemeriksaan keuangan harus benar-benar terjamin mutunya. Yang sangat krusial adalah pertanggungjawaban dan sanksi atas berbagai pelanggaran yang mungkin terjadi harus disiapkan terlebih dulu. Juga harus dipas- tikan agar kebijakan seperti ini benar-benar akan menghapus praktik ilegal pembiayaan partai. Orang-orang berduit atau para oligarch harus dipastikan tak lagi dapat menguasai partai. Jika demikian, kebijakan menjadikan partai milik publik ini akan dapat mencapai tujuannya.

DJAYADI HANAN Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Sumber : Kompas, 22 Agustus 2015

August 18, 2015

Sukseskan Pilkada: Pilkada Serentak Kembalikan ke Khitah!



Pilkada Serentak Kembalikan ke Khitah!
Analisis Politik J Kristiadi

Perdebatan menjemukan pemilihan kepala daerah serentak dewasa ini terjebak hanya di sekitar masalah yang berkaitan dengan intrik politik, seperti dugaan upaya mengganjal pilkada karena partai belum siap akibat kepengurusan rangkap; usul agar pilkada ditunda karena pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum di daerah tidak beres, anggaran yang belum keluar, dan isu yang paling panas adalah fenomena calon tunggal. Membiarkan perdebatan terperangkap pada isu periferi akan semakin membuat perpolitikan nasional masuk dalam pusaran turbulensi politik yang mengacaukan kiblat politik. Arah perdebatan menjadi pragmatis sensasional, bukan substansi yang seharusnya menjadi arah penyempurnaan penyelenggaraan pilkada yang komprehensif.
Oleh sebab itu, sebaiknya perbincangan harus mengacu kembali kepada khitah atau garis haluan perjuangan bangsa sehingga pilkada dapat dilakukan secara langsung. 

http://nulisbuku.com/books/view_book/7247/10-langkah-efektif-memanangkan-pilkada

Pertama, pilkada mewujudkan pemerintahan daerah yang efektif, melembagakan dan memperdalam demokrasi lokal. Pemilu lokal bukan sekadar demokrasi ritual yang memuja prosedur politik melegitimasi penguasa, melainkan bagian dari pendidikan politik rakyat. Publik pun semakin sadar bahwa hak memilih selalu sejalan dengan kewajiban dan kemampuan mengontrol penguasa daerah secara terus-menerus.
Kedua, menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan dekat dengan rakyat. Perlu diingat, mutu dan harkat kepala daerah adalah komitmennya yang konsisten terhadap upaya menyejahterakan masyarakat. Pemilu lokal merupakan upaya pemimpin politik setempat mempertajam daya empati terha- dap kehendak dan keprihatinan rakyat guna membuat kebijakan yang berpihak kepada kepentingan publik. Ketiga, aktualisasi representasi kepentingan lokal sehingga kebijakan di daerah lebih eksplisit berpihak pada interes spesifik rakyat. Keempat, meningkatkan daya saing kemandirian daerah sesuai keunggulan dan kearifan wilayah.
Meski demikian, hal itu tak berarti isu-isu periferi sebagaimana disebutkan di atas tidak penting, terutama isu calon tunggal yang harus diselesaikan segera. Repotnya, waktu makin mendesak dan pilihannya terbatas opsi buruk atau kurang buruk. Misalnya pilihan pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Persoalan mendasarnya adalah apakah calon tunggal di beberapa daerah sudah dapat dianggap negara dalam keadaan darurat atau menghadapi kegentingan yang memaksa, sebagai prasyarat perppu.
Selain itu, kemungkinan DPR menolak juga besar. Pilihan lain, calon tunggal dipertandingkan dengan kotak kosong. Persoalan muncul kalau yang menang kotak kosong dan kandidat yang kalah menggugat, siapa yang digugat. Jadi, opsi apa pun yang dipilih untuk mengatasi persoalan dalam pilkada serentak ini harus dalam perspektif mengembalikan pilkada ke khitahnya.

Sementara itu, sekadar menyalahkan parpol yang tidak bersedia mengusulkan kandidat agar diberi sanksi juga tidak memecahkan persoalan. Sudah menjadi rahasia umum kandidat harus menyediakan ”uang perahu” untuk mendapatkan dukungan parpol. Padahal, besaran ”mahar” politik sudah melewati batas nalar manusia sehat. Bahkan, tidak sedikit kader parpol yang miris dan cemas terhadap dominasi politik uang dalam pilkada yang bisa jadi jalan mulus mereka menjadi narapidana. Fenomena peran sentral kapital dalam proses politik sudah saatnya dihentikan.
Karena itu, menyelesaikan persoalan pilkada serentak ini harus tunduk pada garis haluan serta alasan paling mendasar dasar (raison d’etre) dilakukannya pilkada secara langsung. Khusus tentang mahar politik, sebaiknya gagasan bantuan keuangan parpol dari APBN, antara lain dikemukakan Mendagri, harus dijadikan salah satu alternatif. Besarnya bantuan masih dapat diperdebatkan, tetapi jumlah anggaran yang cukup dan terukur akan membuat parpol lebih tenang sehingga tak mencari dana sendiri yang kadang, meskipun ilegal, sulit dikontrol. Sudah saatnya negara memberi parpol insentif.
Namun, parpol yang menerima uang harus memenuhi tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, serta sanggup membuat laporan yang lengkap dan rinci. Parpol harus memberikan kebebasan publik mengakses laporan keuangan parpol. Demikian pula sanksi yang jelas, tegas, serta keras harus dikenakan kepada mereka yang tega menyalahgunakan uang rakyat.

Agenda yang sangat penting lainnya adalah pendidikan politik internal parpol. Kegagapan parpol dalam memilih kandidat dalam pilkada serentak kali ini merupakan bukti kuat parpol gagal menyiapkan kader yang berwatak dan siap bertanding untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Selama ini, kader parpol hanya diperlakukan sekadar sebagai instrumen politik yang dikendalikan dan tunduk oleh kehendak ketua umumnya. Parpol kehilangan marwah serta martabat karena hanya menjadi pemuas nafsu kekuasaan segelintir oligarki di lingkaran pusat kekuasaan sekitar ketua umum.
Oleh karena itu, agenda tandem berikutnya adalah demokratisasi internal partai. Pengalaman menunjukkan, jika tidak menanamkan benih-benih keutamaan yang memuliakan kesetaraan, parpol dapat dipastikan mengalami pembusukan politik. Tidak ada negara demokratis tanpa partai yang demokratis. Dengan demikian, pilkada serentak harus dijadikan pesta rakyat merayakan kedaulatannya untuk memilih kepala daerah yang ber-akhlakul karimah.
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS ( Sumber : Kompas 11 Agustus, 2015)

August 9, 2015

Sukseskan Pilkada: Pilkada dan Uang Survei Kepala Daerah



http://nulisbuku.com/books/view_book/7216/strategi-sun-tzu-menangkan-pilkada
Sukseskan Pilkada: Pilkada dan Uang Survei Kepala Daerah
Oleh Asrinaldi Asril

Keinginan banyak pihak untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah yang bersih sepertinya masih sulit diwujudkan.  Masalahnya, aturan dalam UU yang melarang partai politik untuk meminta "uang mahar" atau "uang perahu" kepada calon kepala daerah ternyata masih dilanggar. Permintaan terhadap "uang perahu" kini menggunakan modus lain, yaitu uang survei. Bahkan, menjelang pendaftaran calon kepala daerah, praktik permintaan uang survei ini semakin marak di daerah yang akan melaksanakan pilkada pada Desember 2015.  Setiap kandidat diwajibkan menyetorkan sejumlah uang yang sudah ditetapkan pengurus partai. Alasannya, uang tersebut akan digunakan untuk survei internal yang bertujuan mengetahui elektabilitas dan nominasi kandidat untuk diusulkan kepada pengurus pusat partai.

Setiap calon kepala daerah menyetor dengan jumlah yang sama sehingga apabila diakumulasikan jumlahnya menjadi besar. Apalagi dengan munculnya banyak bakal calon yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah, tentu uang yang diterima partai di daerah juga semakin banyak.  Modus baru permintaan sejumlah uang ini merusak norma pilkada yang sudah disusun dengan baik. Pembiaran terhadap masalah ini jelas semakin menurunkan kepercayaan publik kepada partai politik. Bahkan, bukan tidak mungkin praktik seperti ini menjadi sumber sengketa baru antara partai politik dan calon yang sudah menyetor, tetapi gagal diusung partai tersebut.
Kebijakan pengurus daerah terkait dengan kewajiban penyetoran sejumlah uang dalam pencalonan memang mengundang tanya. Apakah memang survei tersebut menjadi keharusan? Selama ini, kalaupun ada survei, biasanya pengurus partai politik tidak memungut uang kepada calon yang mendaftar. Namun, perubahan peraturan yang melarang partai politik meminta sejumlah uang kepada bakal calon kepala daerah rupanya telah mengubah modus pungutan.
Fenomena uang survei ini jelas perlu mendapat perhatian, terutama dari penyelenggara pilkada, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Selain tidak sesuai dengan upaya memperbaiki kualitas pilkada, uang survei yang dibebankan kepada bakal calon juga menyebabkan tidak efisiennya pelaksanaan pilkada.
Pembusukan demokrasi. Jika diperhatikan, perilaku politisi di daerah memang belum berubah dalam pelaksanaan pilkada. Berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan keuntungan dari pilkada tersebut. Perilaku seperti ini tentu bertentangan dengan semangat masyarakat yang menginginkan pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas. Sebenarnya, tanpa melaksanakan survei elektabilitas terhadap calon pun, partai politik sudah bisa menilai kelayakan calon yang mendaftar untuk diusulkan menjadi kepala daerah. Mengapa demikian?
Setiap partai politik memiliki pengurus dan anggota hingga ke tingkat RT dan RW yang dapat dijadikan referensi untuk memberikan penilaian terhadap calon yang mendaftar kepadanya. Seandainya partai politik telah melaksanakan fungsinya dengan baik, tentu pemetaan terhadap calon kepala daerah yang akan diusulkan menjadi gubernur, bupati, atau wali kota menjadi tanggung jawabnya.Modus setoran dari calon untuk melaksanakan survei ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak mengapa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tersebut tidak mengantisipasi hal ini. Sebab, dari apa yang terlihat, motivasi mereka tidak lain adalah untuk mengambil keuntungan dari proses pendaftaran para bakal calon kepala daerah.
Mereka mencari celah dari aturan yang melarang pungutan dengan selubung kegiatan yang dianggap legal. Jika dari awal calon kepala daerah ini sudah dibebani dengan pungutan terselubung dari partai politik, tentunya hal ini akan berdampak pada motivasinya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pada akhirnya, pilkada yang diharapkan dapat menghasilkan kepala daerah berkualitas dan berintegritas sulit diwujudkan.
Tanpa mereka sadari, modus seperti ini jelas berdampak kepada pembusukan terhadap institusi demokrasi yang sedang dibangun. Bagaimana tidak, pilkada berkorelasi langsung dengan pembentukan kelembagaan demokrasi, dalam hal ini pemerintah daerah. Melalui pilkada diharapkan muncul kepala daerah yang memiliki kompetensi dan berintegritas dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Keinginan yang tersirat dalam UU pilkada sebenarnya sejalan dengan apa yang dikemukakan Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014), bahwa tata kelola pemerintahan yang baik menjadi salah satu pilar dalam membangun tertib politik sekaligus memperkuat eksistensi negara. Namun, sangat disayangkan, aturan hukum yang mengatur tentang pilkada masih dinodai praktik pungutan dengan modus baru yang bertentangan dengan nilai demokrasi yang ingin dikembangkan.
Pengaruhi motivasi.Sulit dinafikan, keadaan ini akan memengaruhi motivasi calon kepala daerah setelah terpilih nantinya. Mau tidak mau, sejumlah uang yang sudah dikeluarkan saat pendaftaran menjadi kepala daerah akan dihitung sebagai pengeluaran yang harus dikembalikan. Dampak ini tidak dipikirkan pengurus partai di daerah karena ingin mengambil keuntungan sesaat.  Fakta adanya pungutan kepada calon kepala daerah menegaskan tentang perlunya reformasi di dalam partai politik, terutama masalah sikap dan mental sebagai pengurus partai di daerah. Memang bukan hal yang mudah menjadikan partai politik sebagai lembaga politik modern, namun harus dilakukan. Kejadian ini juga menunjukkan tentang kondisi internal partai politik kita yang masih rendah kualitasnya. Inilah yang harus kita benahi agar ke depan bisa menghasilkan pilkada yang berkualitas pula.
Asrinaldi Asril, Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang  (Sumber: kompas, 4 juni 2015)

August 2, 2015

Menangkan Pilkada: Maraknya Calon Tunggal, KPU Tetap Berpegang pada Aturan



Menangkan Pilkada: Maraknya Calon Tunggal, KPU Tetap Berpegang pada Aturan

Komisi Pemilihan Umum tetap berpegang pada peraturan yang ditetapkan meskipun dari 269 daerah yang harusnya mengikuti pemilihan kepala daerah secara serentak, tidak semuanya dapat mengikuti pilkada. Peraturan itu adalah Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada,Oleh karena itu, untuk daerah-daerah yang calon kepala daerahnya kurang dari dua pasangan, KPU akan menunda pilkada serentak pada Februari 2017. Dengan tidak semua daerah dapat mengikuti pilkada serentak yang pertama kali digelar KPU, diharapkan hal itu menjadi pelajaran untuk pelaksanaan pilkada berikutnya."Sebagai pelaksana (pilkada), kami belum melihat perlunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Hormatilah sistem yang ada dulu," kata Komisioner KPU Ida Budhiati, saat hadir sebagai pembicara dalam diskusi "Siap atau Tidak Pilkada Tetap Serentak", di Jakarta, Sabtu (1/8).
http://nulisbuku.com/books/view_book/7247/10-langkah-efektif-memanangkan-pilkada

Acara itu dihadiri pula oleh juru bicara DPP Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin, Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi, bakal calon Wali Kota Depok Dimas Okky, dan Direktur Populi Center Nico Harjanto. Sejauh ini, pada hari pertama pendaftaran perpanjangan pilkada, dari 269 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak, tercatat masih ada 12 daerah yang calon kepala daerahnya kurang dari dua pasang. Pada pendaftaran pilkada 26-68 Juli lalu, tercatat masih ada 13 daerah yang memiliki pasangan calonnya kurang dari dua pasang. Pendaftaran perpanjangan calon kepala daerah dibuka kembali Sabtu ini dan berakhir Senin (3/8) besok. "Alhamdulillah, hari ini, di Kabupaten Serang, Banten, sudah ada tambahan pasangan calon kepala daerah. Artinya, Serang sudah memenuhi syarat minimal mengikuti pilkada serentak. Masih ada dua hari lagi, kami berharap di 12 daerah lainnya segera mendaftar calon kepala daerah sehingga calonnya lebih dari dua pasang calon," papar Ida.
Perppu harus dikaji. Lebih jauh Ida mengatakan, terkait kekhawatiran calon tunggal dalam pilkada, sebaiknya berbagai pihak jangan reaktif dulu dengan gagasan perppu. "Perlu kajian mendalam apa manfaat dan mudarat jika ada perppu. UU dibuat untuk kepentingan demokrasi dan melahirkan pemimpin yang kredibel. Jadi, ikuti dulu ketentuan yang ada," papar Ida.Fenomena calon tunggal, tambah Ida, ini diharapkan menjadi pelajaran agar pilkada serentak berikutnya berjalan baik.
Jika sampai Senin depan, di 12 daerah tetap tidak ada penambahan calon kepala daerah, otomatis kepala daerahnya menjadi kosong. "Penentuan kepala daerah selanjutnya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Apakah akan ada penjabat kepala daerah, itu wewenang pemerintah," kata Ida lagi. Nico Harjanto sependapat dengan Ida. Daerah yang tidak memiliki dua pasang kandidat, pilkadanya sebaiknya ditunda. "Pilkada 2015 adalah langkah awal dari cita-cita. Kalau di awal saja sudah ribut, bagaimana ke depannya," tuturnya.
Menurut Nico, masalah calon tunggal sebenarnya bukan kesalahan penyelenggara pilkada, melainkan partai politik yang tak menyiapkan kadernya sejak awal. Partai dinilai sangat pragmatis dan matematis memberikan dukungan kepada calon kepala daerah tertentu."Parpol takut bersaing karena merasa lawannya jauh lebih kuat sehingga memilih tidak mengajukan calon," katanya.

Sebagai contoh, di Kota Surabaya, Jawa Timur, calon petahana Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana yang diusung PDI-Perjuangan hingga kini belum punya lawan secara resmi. Begitu juga di Kabupaten Pacitan, Jatim, pasangan Indartato-Yudi Sumbogo, jagoan Partai Demokrat yang didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Nasdem, juga belum ada saingannya. "Parpol telah membajak demokrasi. Ke depan, partai yang tidak menggunakan haknya harus diberi hukuman," ujar Nico.
Didi Irawadi mengatakan, partai tak bisa disalahkan sepenuhnya dalam pencalonan kepala daerah. Pasalnya, saat penentuan calon, parpol penuh dengan pertimbangan, seperti tingkat popularitas, ketokohan, dan visi-misi calon. Menurut Didi, jika pilkada ditunda hingga 2017, hal itu akan mencederai demokrasi. "Calon tunggal tidak mendapatkan hak politiknya. Di sisi lain, undang-undang mengatakan, pilkada tidak bisa digelar jika kandidat tunggal. Jadi, pemerintah harus mengeluarkan perppu agar partai dapat mendaftarkan calon di 13 daerah itu. Memprihatinkan kalau daerah dipimpin pelaksana tugas gubernur atau bupati dan wali kota hingga dua tahun," kata Didi.
Viva Yoga menambahkan, setiap partai sebenarnya punya mekanisme sendiri dalam menentukan calon. Salah satunya, hasil survei yang menjadi pertimbangan. Meskipun mengutamakan kader sendiri, apabila ada calon di luar partai yang kuat, PAN siap berkoalisi. Dimas Okky mengatakan, pilkada serentak menjadi ujian bagi KPU. Sementara itu, dari Bali dilaporkan, enam daerah, yakni Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, dan Bangli serta Karangasem tercatat sudah memiliki calon kepala daerah yang lebih dari dua pasang. Untuk itu, tahapan pilkada serentak selanjutnya dapat dilakukan. Tahapan berikutnya di antaranya verifikasi berkas pasangan calon peserta pilkada.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Provinsi Bali I Ketut Rudia mengatakan, pihaknya tinggal ikut mengawasi pelaksanaan verifikasi calon peserta."Kami dari sisi pengawasan penyelenggaraan pilkada tentu akan ikut melakukan pengawasan terhadap verifikasi tersebut. Kami minta jajaran KPU di Bali melaksanakan proses verifikasi calon kepala daerah itu dengan benar," paparnya.(B04/san/COK,Kompas, 2 Agustus 2015)