December 29, 2017

Patroli Cyber Polri Untuk Amankan Pilkada 2018


Patroli Cyber Polri Untuk Amankan Pilkada 2018

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menyatakan akan mengantisipasi kejahatan yang berkembang di media sosial (medsos) seperti hoax, SARA dan provokasi jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018. Pengawasan pun digencarkan serta menghimbau ke masyarakat agar bijak di media sosial.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal M Iqbal menegaskan, polisi telah diberi amanat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menangani kasus kejahatan melalui medsos seperti hoax.

Untuk itu, dengan struktur kelembagaan seperti Biro Multimedia Divisi Humas, Direktorat Siber Bareskrim Polri dan Baintelkam Polri terus menggencarkan pengawasan di media sosial.

"Tiga jabatan ini akan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta melindungi dan mengayomi masyarakat dengan cara preemptive dan preventif," ujar Iqbal

Polri juga akan mendorong KPU untuk bersama-sama membuat nota kesepahaman untuk mengikat para kontestan yang ikut Pilkada untuk menggunakan medsos secara sehat.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Setyo Wasisto menambahkan, berkaca pada fenomena yang terjadi pada Pilkada DKI beberapa waktu lalu, dimana sejumlah pihak menggunakan media sosial sebagai wadah untuk menggiring opini berbau SARA.

Polri pun akan mengantisipasi hal tersebut, patroli cyber pun dilakukan 24 jam setiap hari. Patroli cyber juga dilakukan ditingkatan Polda dan Polres. Ketika mendapatkan hal-hal negatif, maka langsung melakukan profiling untuk mengetahui siapa yang membuat dan menyebarkan konten tersebut.

"Lalu kami akan mengecap HOAX pada konten itu, resmi dari divisi Humas Polri. Kemudian kita sebarluaskan bahwa itu adalah hoax dan tidak perlu disebarluaskan lagi oleh masyarakat," ungkapnya.

Namun, lanjut dia, jika hal tersebut tak juga diindahkan dan penyebar konten sudah tidak bisa dibina lagi, dia pun tak segan-segan untuk menindak tegas sesuai dengan undang-undang yang berlaku. (OL-7)

Sumber : MediaIndonesia.com, Polri Gencarkan Patroli Cyber jelang Pilkada 2018, Kamis, 28 December 2017 19:29 WIB



December 14, 2017

Bawaslu Perlu Lebih Jeli Melihat Kerawanan Pemilu



Bawaslu Perlu Lebih Jeli Melihat Kerawanan Pemilu

Oleh Ramlan Surbakti   

Badan Pengawas Pemilu telah merumuskan Indeks Kerawanan Pilkada/Pemilu. Apakah yang dimaksud dengan kerawanan pemilu? Bawaslu periode 2012-2017 merumuskan kerawanan pemilu sebagai potensi gangguan terhadap setiap tahapan pemilu. Pada tahapan kampanye, misalnya, kabupaten/kota yang memiliki penduduk miskin: lebih dari 30 persen dikategorikan sebagai Sangat Rawan, 10-30 persen dikategorikan sebagai Rawan, dan kurang dari 10 persen dikategorikan sebagai Aman. Gangguan seperti apakah yang akan dilakukan orang miskin terhadap tahapan pemilu? Solidaritas di antara orang miskin amat sangat lemah. Yang mungkin terjadi adalah calon yang kaya tetapi kalah dalam pemilu/pilkada akan menggunakan ”biro jasa” demonstrasi untuk melakukan unjuk kekuatan yang merusak. Orang-orang yang digerakkan biro jasa tersebut belum tentu orang miskin. Kerawanan pemilu versi Bawaslu tidak jelas hendak melaksanakan fungsi Bawaslu yang mana.

Kerawanan atau malapraktik?

Kerawanan pemilu tak berkaitan dengan pengawasan pemilu karena pengawasan terhadap setiap tahapan pemilu berfokus pada penilaian apakah suatu tahapan pemilu dilaksanakan sesuai dengan UU. Kerawanan pemilu juga tak secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum karena hanya menyangkut potensi gangguan terhadap tahapan pemilu dan sama sekali tak merujuk pada jenis pelanggaran. Indeks Pelanggaran Pemilu versi Bawaslu tidak berkaitan secara langsung dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Bawaslu. Indeks kerawanan seperti itu mungkin berguna untuk antisipasi kemungkinan yang akan terjadi.

Namun, Indonesian Parliamentary Centre (IPC) menyebut 14 kerawanan Pemilu 2014, antara lain ketidakpuasan warga masyarakat terhadap daftar pemilih karena banyak yang tak terdaftar, kampanye yang menonjolkan kekuatan, surat undangan pemilih tak sampai pada pemilih terdaftar, jumlah logistik yang kurang, perbedaan persepsi tentang surat suara sah, pemungutan dan penghitungan suara melebihi waktu yang ditentukan dalam UU, serta dugaan tentang penggelembungan suara.

Kerawanan pemilu versi IPC tak membedakan potensi pelanggaran dari potensi irregularities (penyimpangan, tetapi bukan pelanggaran). Surat undangan yang tidak sampai pada pemilih terdaftar jelas merupakan penyimpangan, tetapi bukan merupakan pelanggaran; antrean pemilih yang panjang bukan pelanggaran, tetapi merupakan penyimpangan dari kenyamanan bagi pemilih. Sejumlah potensi pelanggaran, seperti jual-beli suara (antara calon/operator dengan pemilih dan antara calon/operator dengan petugas pemungutan dan penghitungan suara), serta penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang tidak dilaporkan, misalnya, tidak disebut dalam kerawanan pemilu IPC. Singkat kata, kerawanan pemilu versi IPC tidak seluruhnya menyangkut potensi pelanggaran dan tidak menyebutkan potensi pelanggaran secara lebih lengkap.



Yang berkaitan langsung dengan tupoksi Bawaslu adalah tipologi pelanggaran pemilu (typology of electoral malpractice). Tipologi pelanggaran pemilu untuk konteks Indonesia adalah pelanggaran terhadap Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP), pelanggaran terhadap Ketentuan Pidana Pemilu (KPP), dan pelanggaran terhadap Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Akan tetapi, tipologi seperti ini terlalu umum karena tak merujuk pada substansi proses penyelenggaraan pemilu. Dalam UU Pemilu belum ditentukan KAP, sedangkan ketentuan pidana sudah diatur dalam bab tersendiri. KEPP diatur Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bersama dengan KPU dan Bawaslu.

Tipologi pelanggaran pemilu yang merujuk pada substansi proses penyelenggaraan pemilu adalah manipulasi terhadap dasar hukum pemilu, manipulasi terhadap pilihan pemilih, serta manipulasi terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara. Manipulasi tipologi pertama terjadi sebelum pemilu, manipulasi tipologi kedua terjadi di masa kampanye, dan manipulasi tipologi ketiga terjadi pada tahap pemungutan dan penghitungan suara.

Akan tetapi, tipologi ini kurang lengkap karena tak memberi tempat pada berbagai kasus pelanggaran setelah proses pemungutan dan penghitungan suara (pascapemilu). Karena itu, perlu ditambah satu tipe pelanggaran lagi, yaitu pelanggaran yang terjadi setelah pemungutan dan penghitungan suara. Alokasi kursi DPR yang berlebihan (over representation) kepada sejumlah daerah dan alokasi kursi yang kurang (under representation) kepada beberapa daerah (malapportionment), dan pembentukan daerah pemilihan yang hanya menguntungkan partai tertentu (gerrymandering) merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi dasar hukum pemilu. Pelanggaran seperti ini tentu tak bisa ditangani Bawaslu, tetapi dapat dipersoalkan berbagai kalangan lain kepada Mahkamah Konstitusi.

Penggunaan uang dan sembako untuk mendapatkan suara pemilih, isu SARA untuk memengaruhi pilihan pemilih, mencela peserta pemilu lain dalam hal tertentu tetapi tanpa bukti (black campaign), penggunaan anggaran negara/daerah untuk memengaruhi pilihan pemilih (pre-election fiscal manipulation), pemberian dana kepada partai agar ditetapkan sebagai calon (uang mahar), penggunaan intimidasi atau ancaman kekerasan untuk memengaruhi pilihan pemilih, dan pemasangan iklan kampanye di televisi yang didominasi peserta pemilu tertentu merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi pilihan pemilih.

Pengaturan tentang pemberian suara yang tak memperhatikan pemilih berkebutuhan khusus, penggunaan hak pilih lebih dari satu kali, kepala keluarga/kepala suku/kepala banjar mencoblos banyak surat suara atas nama keluarga/suku/banjar, penggunaan hak pilih pemilih lain, mengurangi suara suatu partai dan menambah suara partai lain, penghitungan suara yang tidak transparan, panitia pemilihan dan penyelenggara pemilu yang berpihak kepada peserta pemilu tertentu, serta ruang gerak pemantau pemilu yang dibatasi merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi proses pemungutan dan penghitungan suara.

Peserta pemilu/calon yang kalah mengerahkan massa merusak kantor KPU atau kantor instansi pemerintah sebagai protes, peserta pemilu/calon tak melaporkan seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pemilu, penyumbang dana kampanye yang fiktif, menerima dana dari sumber yang dilarang UU dan tak menyerahkan dana itu ke kas negara, tak melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye merupakan sejumlah contoh pelanggaran setelah pemungutan dan penghitungan suara.

Langkah prioritas

Sejumlah langkah perlu diambil Bawaslu. Pertama, memetakan jenis pelanggaran apa sajakah yang kemungkinan besar terjadi dan di daerah mana. Kedua, menyiapkan mekanisme pelaporan yang memudahkan pemilih, pemantau pemilu, dan peserta pemilu menyusun serta menyampaikan laporan dugaan pelanggaran pemilu. Ketiga, menyiapkan para petugas, baik dalam merespons laporan maupun dalam ”jemput bola” mendekati warga masyarakat. Karena keengganan sebagian pemilih mengirimkan pengaduan, Bawaslu perlu mengambil langkah jemput bola.

Dan akhirnya, semua jenis pelanggaran wajib ditangani oleh Bawaslu. Akan tetapi, Bawaslu perlu menentukan ”prioritas”. Tiga contoh dapat dikemukakan di sini. Penggunaan isu SARA diperkirakan akan banyak digunakan di sejumlah daerah dalam Pilkada 2018. Jual-beli suara antara calon/operator dan pemilih/tokoh masyarakat atau antara calon/operator dan panitia pemilihan diperkirakan akan banyak terjadi pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019. Pemilu di Indonesia sudah bebas, tetapi belum adil karena sebagian calon menggunakan uang dan sembako untuk membeli suara pemilih.

Partisipasi pemilih dalam pemungutan suara (voting turn out) belum maksimal, yaitu 71 persen pada Pemilu 2014, antara lain karena baik UU Pemilu maupun peraturan KPU belum memfasilitasi para pemilih yang memiliki kebutuhan khusus, seperti difabel, pasien, tenaga medis dan dokter di rumah sakit, mahasiswa yang berasal dari luar daerah, pekerja musiman di kota besar, dan pemilih yang harus ke luar kota karena pekerjaan.


RAMLAN SURBAKTI, Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, Surabaya; Sumber : Kerawanan Pemilu, Kompas.id, 13 Desember 2017

November 26, 2017

Ichsan Yasin Limpo Andi Muzakkar Cagub Sulsel Jalur Perseorangan



Ichsan Yasin Limpo Andi Muzakkar Daftar Jalur Perseorangan

Oleh Reny Sri Ayu   

Pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang akan bertarung pada Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernuf Sulawesi Selatan 2018, Ichsan Yasin Limpo-Andi Muzakkar, mendaftar melalui jalur perseorangan. Mereka menyerahkan berkas persyaratan dukungan sebanyak satu juta berkas foto kopi KTP dari 1,5 juta yang disiapkan.

Penyerahan dokumen sebagai syarat pendaftaran jalur independen, dilakukan Sabtu (25/11) di Makassar. Berkas yang berasal dari berbagai kabupaten ini dibawa menggunakan beberapa buah truk.
“Setelah kami menunggu beberapa waktu, akhirnya hari ini di jelang berakhirnya pendaftaran independen, ada yang datang. Kami akan menerima berkas ini dan memproses melalui verifikasi administrasi dan verifikasi faktual. Kami akan melakukan semua tahapan dengan transparan,” kata Ketua KPU Sulsel Iqbal Latif saat menerima pasangan bakal calon, Ichsan Yasin Limpo dan Andi Muzakkar.

Berdasarkan syarat yang ditetapkan KPU Sulsel, jumlah minimal berkas dukungan untuk pemilihan jalur perseorangan di Sulsel adalah 480.124 dan tersebar di sedikitnya 13 dari 24 kabupaten/kota di Sulsel. Adapun untuk jalur partai, setidaknya partai pengusung memiliki sedikitnya 17 kursi di DPRD Sulsel.
“Kami memiliki dukungan hingga 1,5 juta warga berdasarkan berkas yang kami miliki. Tapi saat ini kami membawa satu juta berkas. Sisanya akan kami simpan di sekretariat pemenangan untuk menjadi cadangan jika dalam itik adi administrasi dan fatual, ada data ganda atau berkas yang dinilai tidak memenuhi syarat,” kata Ichsan.

Bukti dukungan 1.5 juta warga

Selain berharap KPU transparan dalam proses verifikasi, Ichsan juga menawarkan bantuan dari tim pemenangan mereka jika KPU membutuhkan bantuan untuk verifikasi faktual. Misalnya untuk alamat sesuai berkas atau persetujuan warga.

Sebenarnya pasangan Ichsan-Muzakkar mendapat dukungan dari Partai Demokratyang memiliki 11 kursi  dan PPP dengan tujuh kursi. Namun dualisme kepemimpinan di PPP membuat pasangan ini khawatir akan terjegal di tengah jalan.

“Bukan kami tak percaya partai pendukung tapi ini sebagai langkah antisipasi karena Partai PPP ada persoalan dualisme. Jangan sampai kami tak mendaftar jalur independen dan di tengah jalan, ada persoalan di partai. Tapi kami sudah berkoordinasi dengan partai pendukung terkait pendaftaran perseorangan ini,”


Sejauh ini sudah ada tiga pasangan bakal calon yang secara resmi mendeklarasikan diri untuk maju pada Pilgub  Sulsel. Dua pasangan bakal calon lain adalah Nurdin Abdullah-A Sudirman Sulaiman yang didukung Partai Gerindra yang memiliki 11 kursi, PAN (9), PKS (6), dan PDI Perjuangan (5) atau total 31 kursi. Selain itu pasangan Nurdin Halid-Aziz Kahar dengan dukungan Partai Golkar, pemilik 18 kursi di DPRD Sulsdl, Nasdem (7), PKB (3), dan PKPI (1), dengan total 29 kursi.  Sumber : Kompas.id 25 November 2017 

November 6, 2017

Pilkada Serentak 2020 - Mantabkan Pembentukan Tim SuksesMu




Pilkada Serentak 2020 - Mantabkan Pembentukan Tim SuksesMu

Dalam proses mencapai kesuksesan, setiap orang tidak akan terlepas dari faktor dukungan orang lain. Bagaimana pun juga, setiap orang sukses yang Anda lihat hari ini, adalah mereka yang berhasil karena didukung penuh oleh banyak orang di sekitarnya. Baik dari dukungan moral maupun dukungan teknis. Begitupun dengan diri kita hari ini. agar bisa meraih kesuksesan seperti yang kita impikan dan mencapai tujuan yang sudah kita rancang, kita tidak bisa lepas dari dukungan orang lain. Pertanyaan selanjutnya, apakah mudah untuk mendapatkan dukungan tulus seperti itu dari orang lain? Bagaimana cara orang-orang sukses tersebut bisa mendapatkan dukungan yang hebat dan tulus dari orang sekitarnya?  Menarik kan?
Salah satu cara untuk mendapatkan dukungan yang tulus dari orang di sekitar kita adalah dengan memiliki hubungan yang berkualitas dengan siapapun orang yang kita kenal. Hal ini disampaikan oleh David J. Schwartz dalam bukunya The Magic of Thinking Big yang sudah menjadi best seller tersebut. Dalam buku tersebut, David mengatakan bahwa Sukses sangat tergantung pada dukungan orang lain.  Satu-satunya penghalang di antara Anda dan apa yang Anda inginkan adalah ada tidaknya dukungan dari orang lain.
Mengapa dukungan dari orang lain ini harus bisa kita prioritaskan? Lihatlah, bagainana para pebisnis sukses saat ini yang bisa sampai go internsional pasti memiliki tim yang baik dan setia di belakannya untuk selalu mendukungnya. Bagaimana seorang designer ternama saat ini berhasil menggaet investor mancanegara karena ia didukung oleh tim yang solid di belakangnya. Bagaimana seorang suami bisa produktif selama bekerja karena total didukung oleh anak dan istri. Kemudian kita lihat pula, bagaimana seorang pencetus ide bisa begitu dipercaya dan didukung oleh banyak pihak yang awalnya mungkin tidak mengenal dirinya secara personal dan hanya mengetahuinya dari karya-karyanya?
Sekarang anda bersama Think Tank sudah saatnya membentuk Tim Sukses. Tim Sukses inilah nantinya yang akan mengelola dan melaksanakan pemenangan Pilkada secara bersinergi dan berlanjut. Anda tidak lagi harus melaksanakannya semua secara sendiri, tetapi Tim Sukseslah yang melaksanakannya untuk anda. Untuk itu besarnya Tim Sukses akan disesuaikan dengan Tujuan dan Sasaran yang akan dicapai dan dukungan dana yang tersedia.  Mari kita mulai melihat berbagai aspek yang akan ditangani oleh Tim Sukses. Tugas apa-apa saja yang akan dibebankan kepada Tim Sukses. Secara umum untuk pemenangan Pemilukada bisa kita runtut mulai dari proses pemilihan Partai Politik sebagai Kenderaan politik; pencalonan, pemenangan yang terdiri dari kampanye terbuka, kampanye tertutup, kampanye lewat sossial media; kampanye secara tradisional; pengawalan proses pemilihan; proses penghitungan; prosesi pelantikan dan lain-lain termasuk acara syukurannya. Berikut kita jelaskan kembali Tim Sukses yang akan dibentuk berikut tugas dan tanggung jawabnya secara lebih detail 

Tim Sukses ini membawahi Unit-unit seperti :
Unit Pencalonan Kandidat. Unit ini bertanggung jawab semua legalitas adminsitrasi terkait pencalonan. Mulai dari mempersiapkan dan menginventarisir UU dan peraturan yang terkait dengan Pemilukada. Unit ini juga yang akan mempersiapkan segala sesuatunya sehingga Kandidat berhasil dan terdaftar sebegai salah satu pasangan pemilukada yang syah. Dalam unit ini bergabung Kandidatnya sendiri, Ketua Umum pemenangan Pilkada, Konsultan Politik, Ahli Hukum Pemilukada, Perwakilan atau Ketua Partai Pengusung, Tetua Adat, Sesepuh Dll.
Unit Pemetaan kekuatan politik, unit ini bertanggung jawab memetakan kekuatan Politik baik kandidat sendiri, petahana maupun saingannya. Peta politik ini meliputi kekuatan pendukung termasuk semua Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh formal, non formal; terkait tokoh pemerintahan, politik, agama, sosial dll yang punya akses ke warga atau masyarakat berikut jaringannya (networking) nya baik lewat media sosial tradisional, maupun media sosial Online. Bagaimana Unit ini mengerjakannya? Tergantung pada besar kecilnya volume kerjanya. Kalau volumenya besar, maka sudah selayaknya unit ini mencari Lembaga Survei yang kompeten yang prosefesional yang tepat sesuai dengan kebutuhan serta dana yang ada.
Unit ini bias  memanfaatkan data dari berbagai sumber yang ada, seperti Badan Pusat Statistik Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Kodim, Koramil, Polda, polres Dll. Data yang diperlukan adalah untuk mengetahui di desa-desa atau Kelurahan mana saja pusat kantong-kantong yang jadi pendukung saingan, pendukung petahana, dan desa-desa yang bisa diharapkan jadi pendukung Kandidat sendiri. Dengan mengetahui posisi kantong-kantong ini maka akan terlihatlah dengan jelas mana wilayah kampanye yang diprioritaskan. Berilah perhatian yang lebih kepada wilayah atau desa dan kelurahan yang masih abu-abu-artinya mereka belum jelas siapa yang akan mereka pilih nantinya dan juga wilayah yang sudah jelas-jelas mendukung kandidat Anda. Jangan terlalu melihat wilayah yang fanatic atau pendukung fanatic Kandidat saingan, karena itu hanya akan menyerap tenaga dan waktu sementara mereka sendiri sudah mempunyai pilihan yang jelas. Karena itu fokuslah pada wilayah yang abu-abu dan wilayah yang sudah jelas-jelas mendukung Kandidat Anda.  
Unit Pencitraan Kandidat. Unit ini bertugas melambungkan citra baik Kandidat. Unit ini jangan sampai melakukan kampanye negative, bahkan harus hati-hati dalam menghadapi kampanye negative. Namun demikian Unit ini perlu juga punya counter attack, artinya kalau ada yang menjelekkan kandidatnya harus segera di respon secara baik, disampaikan berita yang benar dan sekaligus menaikkan citra kandidat sendiri dengan jalan menonjolkan kebaikan dan kelebihannya secara proporsional. Unit ini juga punya mobiliasi opini dan pengalihan issu yang pada intinya secara terus menerus menjaga citra kandidat. Secara sederhana dan konsisten. Unit ini membangun citra positip diri Kandidat; kemudian membantuk Opini yang positip tentang kandidat; menghalau Fitnah pada kesempatan pertama; mengajak warga untuk memilih dan menjagokan Kandidat; melakukan Sentuhan dari dan dengan berbagai Arah sehingga citra Kandidat terus terjaga dan secara konsisten menjalankan fungsi Spionase bagi kebaikan Kandidat. Unit ini bekerja sama dengan Unit Media Sosial dan bahkan ikut mewarnai pola kampanye pencitraan Kandidat secara keseluruhan.
Unit Penggalangan Dana.  Unit ini mencari dukungan dana darimana saja dan seberapa saja sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku. Unit penggalangan dana ini, harus diperkuat dengan kemampuan pengorganisasian pengerahan massa. Kegiatan penggalangan dana disesuaikan dengan tradisi wilayah setempat. Artinya apakah dengan menggelar acara Musik di panggung terbuka, di Gedung pertunjukan harus disesuaikan dengan tradisi warga setempat. Jangan sampai kegiatan penggalangan dana ini malah terkesan memaksakan atau malah akan terlihat sebagai Kandidat yang tidak punya “dana”.
Acara penggalangan dana bila dikelola dengan baik akan bias juga sebagai ajang kampanye yang baik. Namun demikian sebelum anda melakukan acara penggalangan dana maka beberapa hal berikut harus diperhatikan dan dipatuhi oleh individu, komunitas dan lembaga penggalangan sumbangan agar kelak tidak menjadi sesuatu masalah :
Penggalang sumbangan hendaknya memperhatikan dan mematuhi peraturan terkait sumbangan dan kode etik filantropi yang tertuang di dalam UU nomor 9 tahun 1961 tentang pengumpulan uang dan barang. Aturan lainnya yaitu PP nomor 29 tahun 1980 tentang pelaksanaan pengumpulan sumbangan, kode etik filantropi Indonesia, kode etik filantropi media massa.

Penggalang sumbangan hendaknya tidak menggunakan rekening pribadi, melainkan rekening khusus sumbangan. Jika individu dan komunitas tidak memiliki rekening khusus, maka mereka bisa bekerja sama dengan lembaga filantropi atau nirlaba yang memiliki rekening khusus sumbangan agar kegiatannya terjamin dan tak melanggar peraturan yang berlaku. Selanjutnya Baca Buku nya DISINI

October 11, 2017

Pemilu Serentak 2019 dan Potensi Masalahnya



Pemilu Serentak 2019 dan Potensi Masalahnya

Oleh Indra Pahlevi 

Mulai 3 Oktober 2017, Komisi Pemilihan Umum memulai kerja besar menuju Pemilihan Umum Serentak 2019. Diawali dengan tahapan pendaftaran partai politik pada 3-16 Oktober 2017, KPU akan mengawali sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia yang diakui sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kerja besar KPU tersebut tentu akan menjadi sorotan semua pihak, baik peserta pemilu, pemerintah, DPR, masyarakat, maupun dunia internasional. Alasannya adalah, dengan kerumitan yang ada dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, potensi terjadinya persoalan di tiap tahapan sangat besar. Apalagi, pada saat merancang bagaimana implementasi penggunaan sistem pemilu baru yang menggunakan metode konversi suara sainte lague murni. Di sini perlu kehati-hatian agar hasilnya tidak menimbulkan persoalan mendasar di kemudian hari.

Berdasarkan amanat Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Asas pemilu tersebut bukan hal yang baru dicantumkan dalam sebuah UU Pemilu. Pertanyaannya adalah bagaimana implementasi selama ini? KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu tentu memiliki parameter untuk mewujudkan asas pemilu tersebut. Oleh karena itu, KPU memiliki beberapa asas yang diperintahkan oleh UU No 7 Tahun 2017 tersebut sebagai prinsip dalam penyelenggaraannya, yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka,  proporsional, profesional, akuntabel,  efektif, dan  efisien. Kesemua prinsip itu harus menjadi pegangan semua komisioner KPU, baik di pusat maupun daerah.
Potensi masalah
Beberapa persoalan yang berpotensi mengemuka di setiap tahapan adalah pada saat penetapan partai politik peserta pemilu yang terjadwal pada 17 Februari 2018. Potensi masalah adalah adanya partai politik yang tidak lolos verifikasi dan kemudian melakukan gugatan. Belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, KPU tentu sudah mengantisipasi. Namun, KPU harus mampu membuktikan hasil verifikasi faktual baik di tingkat pusat maupun daerah yang selama ini sulit dilakukan. Proses verifikasi faktual di daerah akan terkendala jumlah yang sangat banyak, tetapi tenaga untuk melakukan verifikasi sangat terbatas. Apakah KPU hanya akan melakukan uji sampling atau keseluruhan akan sangat tergantung kepada kesiapan semua sumber daya yang dimiliki KPU.
Potensi masalah berikut adalah pada tahapan penyusunan daftar pemilih yang tetap berbasis Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang diserahkan pemerintah kepada KPU pada 17 Desember 2017. Secara umum, sebenarnya kita berharap tidak akan ada persoalan tatkala data kependudukan sudah menggunakan KTP elektronik. Namun, hingga saat ini belum semua warga negara memiliki KTP elektronik, bahkan menurut Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, masih terdapat 1,9 juta penduduk yang memiliki data ganda meskipun Dirjen Dukcapil menjamin tak akan memengaruhi penyusunan daftar pemilih pemilu.

Di sinilah peran KPU untuk dapat membersihkan data ganda tersebut agar daftar pemilih pemilu tidak lagi banyak ”istilah” seperti daftar pemilih khusus yang dapat menggunakan hak pilih hanya dengan menggunakan KTP di wilayahnya pada saat pemungutan suara meskipun tidak terdaftar dalam daftar pemilih. Sekadar mengingatkan bahwa persoalan daftar pemilih tetap (DPT) ini pernah mengemuka dan menjadi perhatian DPR saat Pemilu 2009 melalui pembentukan Panitia Angket DPT. Saat itu daftar pemilih sangat amburadul dan bahkan terkesan tidak terkonsolidasi dengan baik.
Tahapan berikut yang berpotensi muncul masalah adalah penetapan daerah pemilihan DPRD. Meskipun sudah ada panduan dalam UU No 7 Tahun 2017 berupa prinsip-prinsip yang tercantum dalam Pasal 185 yaitu kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas; integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan; namun hal itu perlu memperhitungkan segala aspek baik sosial, politik, ekonomi, demografis, maupun geografis.
Memang selama ini sudah ada daerah pemilihan yang dipergunakan pada pemilu sebelumnya. Namun, pada hakikatnya tetap terbuka ruang untuk penataan ulang dengan memerhatikan berbagai perkembangan yang ada. UU No 7 Tahun 2017 relatif sudah mempertimbangkan berbagai kondisi yang pernah terjadi pada pemilu sebelumnya manakala satu daerah pemilihan melebihi alokasi kursi yang ditentukan karena terbentuk pemetaan daerah pemilihan harus kecamatan  atau gabungan kecamatan untuk DPRD kabupaten/kota.
UU No 7 Tahun 2017 sudah memberikan ruang adanya ketentuan dapat menggunakan bagian kecamatan sehingga kasus Depok tidak akan terulang lagi. Berdasarkan pengalaman, banyak anggota DPRD kabupaten/kota periode 2014-2019 yang mempertanyakan terkait daerah pemilihan ini. Hal itu tentu lumrah mengingat hingga saat ini model pencalonan dan keterpilihannya masih mengombinasikan antara peran parpol pada saat pencalonan dan si calon itu sendiri karena masih mempertahankan sistem suara terbanyak (Pasal 422) pada saat penentuan calon terpilih.
Tahapan-tahapan berikutnya yang harus diperhatikan KPU adalah proses pencalonan hingga penetapan daftar calon tetap. Ruang untuk terjadinya sengketa (dispute) baik antarcalon, antara calon dan parpol pengusung, atau antara calon/parpol dan KPU itu sendiri sangat mungkin terjadi. Meskipun saat ini relatif tidak ada parpol yang berkonflik—jika diasumsikan konflik PPP sudah selesai, tetapi ruang perselisihan tersebut akan tetap muncul dengan melihat sistem pemilu yang kita gunakan saat ini. Begitu juga dengan tahapan kampanye yang sarat dengan persoalan di setiap pemilu. Dengan melihat Pemilu 2019 sebagai pemilu serentak, model kampanye yang secara umum sudah diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 harus dikelola secara bijak saat kampanye suatu parpol yang juga mencalonkan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dicalonkan oleh gabungan parpol.
Dalam konteks ini perlu diperhatikan apa yang kita sebut coattail effect (secara harfiah coattail bermakna ekor/buntut jas). Secara konseptual, konsep coattail effect maksudnya adalah orang-orang yang sudah sangat  terpesona dengan sosok/citra seseorang hingga bahkan ketika dia mengibaskan ”ekor” jasnya, luluhlah hati rakyat atau orang-orang di sekitarnya. Karena itu, pada saat kampanye untuk memilih anggota DPR dan DPRD tentu akan memanfaatkan dengan mengampanyekan siapa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka usung. Sementara di sisi lain terdapat persaingan antarparpol dan bahkan antarcalon dalam pemilihan anggota DPR serta DPRD.
Potensi masalah yang mungkin muncul adalah saat tahapan pemungutan suara serta penghitungan suara yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019. Tahapan ini adalah tahapan paling krusial dari seluruh tahapan pemilu itu sendiri yang merupakan pengalaman pertama dalam pemilu serentak. Sama halnya dengan pelaksanaan pilkada serentak, potensi masalah akan berujung pada pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU).
Evaluasi pilkada serentak
Dalam evaluasi Pilkada Serentak 2017, KPU menyatakan terdapat beberapa persoalan yang muncul seperti pembukaan kotak suara yang tidak sesuai prosedur, surat suara yang ditandai,  pemilih memilih lebih dari satu kali di satu tempat pemungutan suara (TPS), pemilih memilih lebih dari satu kali di TPS yang berbeda, dan masalah lainnya. Sementara pelanggaran yang tak berdampak pada PSU, yaitu ketua KPPS tidak menandatangani surat suara, terdapat pemilih di bawah umur yang belum berstatus kawin, pemilih memilih dengan menggunakan formulir C6 orang lain, kotak suara yang dilarikan masyarakat, selisih penggunaan hak pilih dengan jumlah surat suara yang ada di dalam kotak suara, serta pemungutan suara tak dihadiri saksi pasangan calon dan pengawas pemilu di TPS dan lainnya.
KPU juga mencatat pada Pilkada Serentak 2017 terdapat kekurangan surat suara akibat membeludaknya pemilih tambahan, pelayanan terhadap pemilih di rumah sakit, rutan, rumah sakit jiwa belum maksimal, terdapat daerah seperti DKI Jakarta yang membuat aturan tambahan dalam pelayanan hak pilih untuk pemilih tambahan sebagai fungsi kontrol tetapi pada akhirnya menghambat pelayanan kepada pemilih dan lain sebagainya. Persoalan ini akan berdampak pada ketersediaan logistik yang sudah ditentukan jumlahnya. Apalagi, jika terjadi persoalan salah surat suara di suatu daerah pemilihan sebagaimana yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
Kompleksitas masalah akan bertambah karena akan terdapat 5 (lima) surat suara di satu TPS (kecuali DKI Jakarta hanya 4 surat suara), yaitu surat suara untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden/wakil presiden. Seorang pemilih akan memerlukan waktu yang relatif lama untuk membuka dan mencoblos setiap surat suara dan kemudian akan berdampak pada proses penghitungan suara di setiap TPS hingga berjenjang ke atas. Dalam konteks ini tentu KPU harus mampu menyeleksi anggota KPPS, PPS, dan PPK yang lebih mengedepankan kapasitas dan pemahaman yang baik terhadap pemilu serta kesigapan dan kecepatan agar semua proses dapat berjalan lancar.
Pemetaan masalah
Secara keseluruhan, KPU harus melakukan pemetaan masalah di setiap tahapan yang disusun dalam sebuah dokumen sebagai panduan bagi pelaksana di lapangan. KPU tidak hanya menyusun regulasi teknis terkait pelaksanaan setiap tahapan, tetapi juga harus menyusun peta masalah yang menjadi pegangan bagi seluruh pelaksana pemilu. Beberapa hal penting perlu dilakukan KPU, yaitu sosialisasi informasi kepemiluan serentak 2019 secara sistematis melalui strategi jitu agar tidak hanya partisipasi masyarakat meningkat, tetapi juga munculnya pemahaman masyarakat terhadap Pemilu Serentak 2019 ini.

Berikutnya adalah proses distribusi logistik yang lebih teratur dan terencana agar bisa meminimalkan kesalahan yang tidak perlu, tetapi akan berdampak besar pada penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Terakhir yang paling penting adalah kesiapan tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Pada tahapan ini satu hal yang paling penting adalah pelatihan yang terstruktur bagi para pelaksana di lapangan sehingga memiliki kapasitas yang mumpuni untuk mereduksi kesalahan yang sering terjadi di setiap pemilu. Melalui peningkatan kapasitas para pelaksana, diharapkan tidak lagi terjadi kesalahan. Semoga Pemilu 2019 tidak hanya berjalan aman dan lancar, tetapi juga menghasilkan para wakil rakyat dan presiden yang amanah.

Sumber : Kompas.id. 10 Oktober 2017 Menuju Pemilu Serentak 2019   oleh: Indra Pahlevi, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI

September 11, 2017

Tahapan Pilkada Serentak di 171 Daerah pada 2018

Tahapan Pilkada Serentak di 171 Daerah pada 2018

Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi meluncurkan dan memulai tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten di Indonesia."Tahapan ini akan diawali dengan sosialisasi kepada masyarakat terkait pelaksanaan pilkada, yang dimulai pada hari ini sampai 23 Juni 2018," kata Ketua KPU RI Arief Budiman di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Selanjutnya, pembukaan pendaftaran pasangan calon kepala daerah dijadwalkan berlangsung pada 8 Januari hingga 10 Januari 2018, tambah dia.Sementara itu, 27 Juni 2018 ditetapkan sebagai hari pemungutan suara pada Pilkada serentak mendatang, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada 2018."Pilkada 2018 sedikit berbeda dari 2015 dan 2017, karena di tengah-tengah tahapannya, secara bersamaan juga akan dilaksanakan tahapan pemilu legislatif dan Pemilu 2019. Jadi pekerjaan KPU, Bawaslu, TNI, Polri, bahkan partai politik akan dua kali lipat," ungkap Arief.
Kendati demikian, pria yang pernah menjadi Anggota KPU Jawa Timur periode 2004-2012 itu berharap penyelenggaraan Pilkada 2018 tidak akan terganggu dengan adanya tantangan kinerja tersebut."Kami bertekad pilkada ini menjadi lebih baik, maka dari itu KPU selalu menekankan hal pokok yang harus dijalankan dan dijadikan pedoman bersama bagi penyelenggara pemilu di tingkat daerah. Yang pertama transparansi, kemudian kedua adalah integritas," ujar Arief.


Ia juga menyampaikan bahwa penyelenggara pemilu bertekad memperkuat pelayanan pemberian informasi kepada masyarakat, serta memastikan seluruh produk hukum KPU apat terpublikasi dengan baik pada Pilkada 2018.Sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi dalam Pilkada 2018. Jumlah daerah yang akan ikut pilkada mendatang akan lebih banyak dibandingkan Pilkada 2017, yang hanya diikuti 101 daerah.  ( Sumber : https://news.okezone.com/read/2017/06/14/337/1716154/resmi-diluncurkan-kpu-ini-tahapan-pilkada-serentak-di-171-daerah-pada-2018)

August 22, 2017

Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden

Baru tiga hari setelah Rapat Paripurna DPR menyetujui Rancangan UU Penyelenggaraan Pemilu menjadi UU, Jumat (21/7), permohonan pengujiannya telah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan Presiden pun belum mengesahkan atau memberi nomor bagi UU dimaksud.

Keberatan terutama ditujukan pada nilai ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222. Partai politik atau gabungan partai politik yang hendak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden disyaratkan memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Hal demikian dianggap halangan oleh sebagian partai politik serta para tokoh yang ingin maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden pada Pemilu 2019. Karena itu, MK diminta membatalkan nilai ambang batas tersebut dengan alasan melanggar hak konstitusional.
Kebijakan hukum terbuka
Dalam konteks pengujian UU sebenarnya isu yang sama pernah diadili oleh MK meskipun UU-nya berbeda. Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 mengadili Pasal 9 UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 9 menentukan pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat dilakukan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya.
MK menolak permohonan para pemohon, yang artinya nilai ambang batas dimaksud tidak melanggar konstitusi. Dalam putusannya, MK menyatakan pendirian bahwa kebijakan pembentuk UU ketika menentukan nilai ambang batas merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Tersirat dari putusan tersebut—juga dari beberapa putusan MK terdahulu—bahwa kebijakan hukum terbuka adalah ”wilayah bebas” bagi pembentuk UU karena UUD 1945 tidak memberi arahan kebijakan hukum seperti apa yang harus diambil.
Syarat pencalonan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 6A juncto Pasal 6 UUD 1945, yang keduanya tidak mewajibkan atau melarang adanya ambang batas pencalonan. Kemungkinan dari sini MK berpendapat. Mengingat tidak diatur oleh UUD 1945, maka pembentuk UU memiliki kebebasan untuk secara mana-suka mengaturnya sendiri.
Pendapat MK demikian mendapat pembenaran karena negara berkewajiban untuk selalu menyediakan perangkat hukum mengikuti perkembangan atau kebutuhan masyarakat. Jika pembentuk UU tidak diberi kebebasan untuk mengatur suatu hal menjadi UU, hanya karena hal demikian tidak diatur oleh UUD 1945, dapat dipastikan banyak aktivitas masyarakat lepas dari kontrol hukum. Di sisi lain kebebasan demikian berpotensi memunculkan UU yang sewenang-wenang karena tidak memiliki norma kontrol berupa UUD 1945.
Dalam konteks penentuan angka ambang batas pemilihan presiden dan wakil presiden, meski MK melalui Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 menyatakan penentuan besaran angka adalah hak pembentuk UU, tak berarti pembentuk UU boleh mengubah-ubah angka tanpa argumentasi. UUD 1945 memang tak memuat ketentuan angka ambang batas, tetapi UUD 1945 mengandung nilai keadilan.
Perluasan parameter
Keadilan merupakan jiwa UUD 1945, bahkan dirumuskan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 paragraf keempat, yang dikenal sebagai sila kelima Pancasila. Nilai-nilai dalam Pembukaan UUD 1945 harus dijadikan parameter pengujian konstitusionalitas UU manakala tidak ditemukan pasal dan/atau ayat dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan parameter.  
Lantas, keadilan seperti apa yang dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945? Adalah kewajiban hakim konstitusi untuk berijtihad menemukan yang terbaik dari berbagai varian keadilan. Berapa pun angka yang disepakati oleh pembentuk UU, MK bertugas memastikan ulang bahwa dampak pilihan kebijakan demikian telah mendekati keadilan, yaitu memberikan manfaat maksimal bagi semua pihak, terutama masyarakat, khususnya dari perspektif demokrasi.
Titik tekan di sini adalah agar MK tidak terburu-buru menyatakan kebijakan hukum mengenai ambang batas pemilihan presiden dan wakil presiden sebagai kebijakan hukum terbuka hanya karena tidak ditemukan parameter pengujian konstitusionalitas dalam pasal dan/atau ayat UUD 1945. Selain itu, juga dimaksudkan agar kebijakan hukum terbuka tidak melahirkan UU yang mengabaikan atau berada di luar kontrol UUD 1945.
Undang-undang yang dinyatakan oleh MK tidak dapat diuji terhadap UUD 1945 terbaca sebagai produk hukum yang kekuatannya menyamai UUD 1945. Hal demikian pada akhirnya menempatkan pembentuk UU pada hierarki setara dengan pembentuk konstitusi. Perubahan hierarki peraturan perundang-undangan lebih lanjut mengakibatkan kerusakan mekanisme kontrol norma hukum.
Supremasi konstitusi
Harus diingat bahwa Indonesia menganut supremasi konstitusi, sebagaimana dinyatakan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, suatu UU harus tetap tunduk pada UUD 1945. Norma hukum dalam UUD 1945 yang dirumuskan sebagai pasal dan/ atau ayat memang terbatas serta tidak mungkin mengatur secara lengkap semua aspek kehidupan masyarakat. Namun, ada nilai-nilai ”Proklamasi Kemerdekaan” dan nilai-nilai Pancasila yang dapat dijadikan parameter tambahan bagi pengujian UU, mengingat keduanya adalah satu kesatuan dengan UUD 1945, bahkan tertulis tegas dalam Pembukaan UUD 1945.
Perkara pengujian UU Penyelenggaraan Pemilu akan menjadi medan pertarungan konseptual apakah Indonesia akan tetap menganut supremasi konstitusi, sebagaimana diperintahkan UUD 1945, ataukah di bawah tangan akan menganut supremasi UU dengan membiarkan suatu UU lolos pengujian hanya karena tidak ditemukan pasal dan/atau ayat UUD 1945 yang dapat dijadikan parameter pengujian.
Mardian Wibowo, Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya
Sumber : https://kompas.id/baca/opini/2017/08/04/konstitusionalitas-ambang-batas-pencalonan-presiden/

July 24, 2017

Elektabilitas Bukan Faktor Tunggal Penentu Kemenangan

 Elektabilitas Bukan Faktor Tunggal Penentu Kemenangan

FAKTOR elektabilitas bukanlah satu-satunya penentu kemenangan dalam pilkada. Ini hanya menjadi petunjuk agar para calon memahami di mana lumbung suara terbesarnya. “Kalau kita melihat pertarungan elektoral dalam Pilkada, harus bertumpu pada elektabilitas. Tapi perlu dipahami bahwa itu bukan merupakan satu- satunya faktor penentu kemenangan. Setidaknya, survei bisa menjadi petunjuk agar para calon memahami di mana lumbung suara terbesarnya,” ujar pengamat politik Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago.


Namun, ia menilai peluang La Nyalla Mattalitti memenangkan pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018 cukup besar, mengingat tingkat elektabilitas mantan Ketua Umum PSSI itu sebesar 13%. "Elektabilitas La Nyalla sebesar 13% menurut hasil survei itu cukup bagus. Paling tidak itu merupakan modal dia dalam menjaring dukungan lebih besar, mengambil empati, dan menggali potensi yang belum tergarap dengan baik,” ujar Pangi di Jakarta, Jumat (20/7).

Mengenai kriteria sosok pemimpin, dikatakan Pangi memiliki perbedaan di masing- masing daerah tergantung dari pendekatan yang dilakukan oleh calon gubernur kepada masyarakat. Kalau sejumlah kandidat memiliki latar belakang politisi, La Nyalla satu-satunya kandidat cagub Jatim yang berlatar belakang pengusaha. Kondisi itu bisa menjadi kekuatan tersendiri karena dia dianggap lebih memahami persoalan ekonomi. Di sisi lain masyarakat sudah mengetahui kasus yang sempat menimpa La Nyalla sudah clear dan berdasarkan keputusan MA ia dinyatakan tak bersalah.

Pangi mengimbau agar La Nyalla melakukan beberapa langkah untuk memompa elektabilitasnya seperti melakukan pendekatan kepada relawan, sering mengadakan kegiatan tatap muka atau mengadakan dialog dengan warga, dan juga mendekati komunitas-komunitas di Jatim. “Siapkan strategi bagaimana bisa mendulang suara dengan pendekatan dari segi relawan, mesin partainya, lalu kemampuan bertatap muka atau menghadiri dialog dengan warga. Kemudian mendekati komunitas apakah itu komunitas petani, pedagang, nelayan, atau kelompok-kelompok yang punya pengaruh besar di Jawa Timur,” paparnya.


Sebelumnya LKPI (Lembaga Konsultan Politik Indonesia) merilis bahwa La Nyalla memiliki tingkat keterpilihan sebanyak 13,1% mengalahkan Khofifah Indar Parawansa (Mensos) 12,3%, dan Saifulah Yusuf (Wagub Jatim) 11,2%. (OL-4) : Sumber : oleh Panca Syurkani; http://mediaindonesia.com/ news/read/114174/elektabilitas-bukan-faktor-tunggal-penentu-kemenangan/2017-07-22)

March 24, 2017

Selisih Perolehan Suara Tetap Menentukan



Selisih Perolehan Suara Tetap Menentukan

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ambang batas selisih perolehan suara masih akan tetap menjadi penentu dalam memutuskan apakah sengketa perselisihan hasil pemilihan yang diajukan akan dihentikan atau diteruskan. Hal ini dilakukan untuk menjaga konsistensi putusan perselisihan hasil pemilihan yang sudah dikeluarkan MK pada pilkada serentak 2015.
Hingga Senin (27/2) petang, ada 22 permohonan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diterima MK. Secara proporsional, jumlah ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan pendaftaran sengketa PHPU pilkada serentak 2015. Saat itu, lebih dari 100 permohonan diterima MK hingga empat hari setelah penetapan hasil rekapitulasi suara.

Terkait dengan jumlah permohonan yang relatif lebih rendah daripada 2015, Ketua MK Arief Hidayat, di Jakarta, menuturkan, putusan MK pada pilkada serentak 2015 sudah menjadi semacam rekayasa sosial yang mengatur pola perilaku kontestan dalam pilkada. Sepanjang tidak memenuhi Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mereka merasa tidak lagi perlu mengajukan sengketa ke MK. “Sebab, pasti tidak memenuhi syarat persentase yang ditentukan Undang-Undang Pilkada. Kalau tidak terpenuhi, mereka sadar percuma ke MK,” katanya.
Sesuai Pasal 158 UU Pilkada, peserta pilkada bisa mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara ke MK jika memenuhi ambang batas selisih suara paling banyak 0,5-2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU provinsi atau kabupaten/kota. Besaran persentase ini diatur UU sesuai dengan jumlah penduduk di daerah itu.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, hanya ada tujuh daerah yang memenuhi syarat ambang batas selisih perolehan suara untuk mengajukan sengketa PHPU, yakni Provinsi Sulawesi Barat, Kabupaten Maybrat (Papua Barat), Bombana (Sulawesi Tenggara), Takalar (Sulawesi Selatan), Gayo Lues (Aceh), Kota Salatiga (Jawa Tengah), dan Kota Yogyakarta (DIY).
Meskipun sudah ada kalkulasi itu, KPU tetap menghormati keputusan kandidat untuk mengajukan permohonan. Komisioner KPU, Ida Budhiati, menuturkan, karena permohonan sudah diajukan, MK lebih berkompeten untuk memutus sengketa PHPU. Menurut dia, jika MK mengacu pada ketentuan syarat formal, seperti ambang batas selisih perolehan suara, jumlah perkara yang berlanjut pada pemeriksaan persidangan akan relatif kecil.
“Berapa pun jumlah perkara yang lanjut pada tahap pemeriksaan persidangan tetap punya bobot tanggung jawab yang sama besarnya dengan perkara yang ditangani pada tahap pemeriksaan pendahuluan,” katanya

Namun, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, tetap berharap MK tidak semata-mata menilai permohonan dari sisi pemenuhan syarat formal. Dia menilai, hal itu bisa bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu. “Kalau ada persoalan substansial dan punya signifikansi suara, MK semestinya memeriksa lebih lanjut permohonan itu walau ada selisih suara yang jauh,” kata Fadli. ( Sumber : Harian Kompas 28 Februari 2017,Gal)

March 9, 2017

Catatan Pilkada Serentak 2017: Pilkada Masih Jauh Dari Harapan

Catatan Pilkada Serentak 2017: Pilkada Masih Jauh Dari Harapan
Oleh Yunarto Wijaya   

Pilkada serentak 2017 harus diakui menempatkan Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi primadona. Ingar-bingarnya mewarnai pemberitaan di media massa dan percakapan di media sosial. Dua pilkada lain yang biasanya juga mendapat atensi tinggi di tingkat nasional, Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Banten dan Aceh, kali ini harus rela tertepikan. Padahal, dinamika kontestasinya tak kalah menarik. Keriuhan Pilgub DKI Jakarta 2017 sudah berlangsung sebelum masa pilkada dimulai. Faktor kepemimpinan yang ditautkan dengan wacana primordialisme menjadi bahan baku utamanya. Dan, hoaks menjadi bumbu terpentingnya.

Ketika kandidat mengerucut pada tiga pasangan calon (Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uno), sempat muncul harapan bahwa isu primordialisme akan tersisih. Namun, harapan itu nyatanya tak berpijak. Para penantang seolah-olah ikut “menikmati”-nya dan ini diimbuhi blunder komunikasi yang dilakukan petahana.
Pilgub DKI kian tinggi daya tariknya karena kemudian juga dimaknai sebagai ajang pertarungan tak langsung para elite politik nasional, persisnya antara Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, dan Megawati Soekarnoputri. Bahkan, ada yang beranggapan pilkada ini lanjutan dari Pilpres 2014. Ada pula yang menilainya pemanasan menjelang 2019. Singkatnya, pilkada ini menjadi beraroma pilpres. Meski menarik, Pilkada DKI bukanlah satu-satunya fenomena penting dalam penyelenggaraan pemilu serentak tingkat daerah kedua di Tanah Air. Dari pemberitaan dan pengamatan lapangan, pilkada serentak 2017 masih diwarnai berbagai masalah lama. Akibatnya, pilkada tak sepenuhnya memadai sebagai ruang bersama bagi warga menentukan ke mana pembangunan daerahnya akan diarahkan dan siapa yang akan jadi pengelolanya.

Trilogi masalah

Di sejumlah tempat, termasuk Jakarta, ada trilogi masalah berulang yang terutama berpotensi mendistorsi atau sekurang-kurangnya memengaruhi hasil pilkada. Trilogi yang dimaksud adalah netralitas dan profesionalitas penyelenggara, daftar pemilih, serta politik uang. Netralitas dan profesionalisme penyelenggara, termasuk pengawas pemilu, terus menjadi sorotan. Di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, seleksi pemilihan komisionernya semakin ketat. Namun, tak terhindarkan, selalu saja ada dugaan mereka berpihak. Dalam kasus Pilgub DKI, misalnya, penyelenggara dianggap kurang menerima masukan masyarakat ketika memilih panelis ataupun moderator debat. Sebaliknya, di Banten, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dianggap abai terhadap maraknya politik uang.
Titik persoalan utama yang kurang diperhatikan adalah pada tingkat eksekutor lapangan, khususnya Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ataupun panwas tingkat kecamatan. PPS dan KPPS pada pilkada serentak masih dipilih dengan aturan lama (berdasarkan usulan kepala desa atau lurah setempat) dan bukan seleksi terbuka sebagaimana diamanatkan UU Nomor 10 Tahun 2016.

Meski melalui seleksi terbuka dapat diperoleh pelaksana yang lebih profesional, faktor netralitas relatif sulit diprediksi. Selalu ada berbagai kemungkinan, pelaksana terpilih menjadi tidak netral. Karena itu, KPU kabupaten/kota ke depannya harus memiliki instrumen untuk memonitor dan indikator yang jelas untuk mengganti petugas yang bermasalah tanpa menimbulkan keributan baru. Pada pilkada serentak 2017, masalah daftar pemilih kian melebar. Masalah berulangnya, sejumlah pemilih tak terdaftar atau sebaliknya ditengarai ada pemilih siluman. Lebih dari sebelumnya, keluhan tak mendapat undangan untuk memilih (Formulir C1) lebih mengemuka. Terlebih ketika mereka juga merasa dipersulit di TPS. Akibatnya, hak memilih mereka terampas. Ini terjadi terutama ketika KPPS setempat atau yang lebih tinggi terindikasi tak netral.

Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) dan Formulir C1 ini bisa diminimalkan jika ada upaya diseminasi informasi daftar pemilih yang lebih intensif. Selama ini, (calon) daftar pemilih hanya diumumkan di tempat-tempat tertentu atau dipasang di TPS. Secara individu, setiap pemilih bisa memeriksa namanya melalui situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Persoalannya, tak semua KPU kabupaten/kota memiliki situs atau menyediakan fasilitas untuk keperluan tersebut.

Ke depan, kisruh daftar pemilih dapat dikurangi dengan dua hal. Pertama, ada ketersediaan informasi semua pemilih yang dipilah menurut rukun tetangga (RT) di laman KPU setempat. Kedua, daftar yang sama juga dibagikan pada tingkat RT untuk didistribusikan kepada warganya. Berdasarkan daftar ini, warga bisa memantau kemungkinan adanya pemilih yang tak dikenal atau malah tak terdaftar. Lebih dari itu, pemilih terdaftar yang tak mendapat Formulir C1 dapat menggunakan daftar ini sebagai penggantinya.

Meski aturan politik uang sudah semakin ketat, nyatanya politik uang dilaporkan masih terjadi. Menurut Bawaslu, ada 600 laporan dugaan praktik politik uang. Namun, pembuktiannya tak mudah. Terlebih, kandidat atau pendukungnya kian kreatif mengemas politik sogokan ini dalam rupa-rupa bentuk, mulai dari kupon hingga pemberian barang melalui pihak ketiga. Politik uang tak mudah dihalangi karena permintaan akan hal ini masih ada. Pemilih ada yang melihatnya sebagai kesempatan untuk dapat rezeki tambahan. Namun, ada pula yang menganggapnya kewajaran, bahkan keharusan. Dari sisi kandidat, terkadang ini dilakukan sekadar untuk mengimbangi manuver lawan agar suaranya tak tergerus secara signifikan. Melakukan politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif tidak saja butuh biaya sangat besar, tetapi juga diragukan efektivitasnya. Namun, harus diakui, dalam segmen atau wilayah tertentu, politik uang bisa sangat efektif mengalihkan suara pemilih. Dan, bisa jadi kunci pemenangan ketika persaingan berlangsung ketat. Dengan bekal dua informasi ini saja, Panwaslu ataupun pemantau pemilu dapat bekerja lebih efektif untuk mencegah terjadinya praktik politik uang.
Menggugurkan kewajiban
Selain trilogi masalah di atas, dalam beberapa aspek penyelenggaraan pada tahun ini terkesan KPUD masih sekadar menggugurkan kewajiban. Padahal, jika dilaksanakan secara saksama, niscaya dapat meningkatkan kualitas kepemiluan. Aspek penyelenggaraan yang dimaksud adalah pertama, terkait informasi pilkada. Perubahan format kampanye membuat paparan pemilih terhadap penyelenggaraan pilkada ataupun kontestan menjadi berkurang. Penyelenggara pemilu terlihat kurang memperhatikan aspek ini. KPUD, umpamanya, terlihat kurang memanfaatkan medium seperti laman resminya.
Dalam beberapa upaya penelusuran, masih ditemui ada KPUD yang lamannya sulit diakses atau memang tak tersedia. Jika pun ada, tak sedikit yang tak menginformasikan tentang pasangan calon, dan seperti sudah disebut, juga informasi terkait daftar pemilih. Selain itu, masih sangat jarang laman penyelenggara pemilu di daerah yang menunjukkan adanya kesinambungan data dari pilkada/pemilu sebelumnya. Padahal, jika KPUD mampu menyediakan aliran informasi yang lengkap dan terperbarui, ini akan sangat membantu pemilih, jurnalis, dan juga pasangan calon yang berkontestasi.
Untuk wilayah yang akses internetnya masih rendah, KPUD ke depan perlu mendorong aliran informasi yang menyebar hingga tingkat RT lewat penyebaran semacam buletin yang menjelaskan tahapan pelaksanaan dan tentu saja informasi tentang pasangan calon serta pelaksana pemilu di PPS ataupun KPPS.
Akan sangat baik jika dalam buletin juga dapat sedikit dimodifikasi per wilayah sehingga mencantumkan pula nama personel penyelenggara ataupun pengawas, terutama di tingkat kecamatan atau lebih rendah. Dengan informasi ini, pemilih bisa melakukan rekonfirmasi jika tak mendapat Formulir C1 atau hendak melaporkan adanya politik uang, umpamanya. Kedua, prosesi debat kandidat tetap tak banyak perubahan. Dengan format seperti sekarang, kandidat tak dapat maksimal mengeksplorasi gagasan sendiri dan menyanggah argumentasi kompetitor. Akibatnya, pemilih juga kurang dapat pemahaman utuh tentang gagasan kandidat. Ke depan, perlu dipertimbangkan perubahan dan atau penambahan format debat yang lebih fokus pada satu isu yang spesifik. Selain itu, juga memberikan keleluasaan kandidat untuk memaparkan gagasan dan menyanggah gagasan kompetitornya. Dengan kata lain, jika pun ada moderator, perannya minimalis.
Syarat penting dari debat tipe ini adalah penetapan tema merupakan kesepakatan bersama dengan kandidat dan bukan ditentukan sepihak oleh KPUD atau panelis. Ini untuk mencegah tudingan ketaknetralan dan untuk mendapatkan tema yang bisa menjadi pembeda utama di antara para kontestan. Belajar dari Pilkada Jakarta, prosesi debat bisa menjadi ajang bagi pemilih mempelajari kandidat dan juga isu-isu yang dilontarkan. Karena itu, ke depan, KPUD perlu mempertimbangkan penambahan frekuensi debat dan atau memperluas kegiatan debat yang menghadirkan representasi resmi dari setiap kandidat sebagai peserta.
Ketiga, terkait pelaporan dana kampanye. Sejauh ini, terkesan pelaporan dana kampanye dan tindak lanjutnya sekadar “menggugurkan kewajiban” yang diamanatkan perundang-undangan yang berlaku. Ke depan, KPUD sewajarnya membuka laporan itu kepada publik. Dan, ini diinformasikan secara saksama. Dengan cara ini, akan ada dorongan bagi publik untuk ikut menilai dan memberikan masukan. Keterbukaan dana kampanye ini menjadi penting agar pemilih juga menjadi lebih memahami siapa yang memberikan dukungan kepada kandidat. Informasi ini dapat jadi masukan bagi pemilih untuk mempertimbangkan kemungkinan kebijakan yang akan diambil seorang kandidat jika kelak terpilih.Penanganan pelaporan dana kampanye ini sudah saatnya ditempatkan dalam posisi penting, bukan lagi sekadar untuk memenuhi persyaratan. Karena itu, kandidat harus secara berkala melaporkannya, tidak hanya menjelang akhir pemilu.
Calon tunggal
Selain rangkaian masalah di atas, rezim pilkada serentak sejak 2015 diwarnai kehadiran calon tunggal. Pada 2017, jumlahnya kurang dari 10 persen. Persisnya, sembilan pasangan dari 94 pilkada tingkat kabupaten/kota atau sembilan dari 101 pilkada secara keseluruhan. Fenomena hadirnya calon tunggal tak diinginkan, tapi dimungkinkan. Karena itu, telah mengemuka usulan untuk memagarinya. Misalnya, melalui persyaratan maksimal jumlah partai politik yang bisa mengusung satu pasangan calon. Aturan ini dapat dianggap melampaui hak prerogatif yang dimiliki parpol untuk mengusung atau tidak mengusung kandidat tertentu.
Sebagai jalan tengah, bisa dipertimbangkan memperberat persyaratan pemenangan bagi calon tunggal. Misal saja, memberikan ambang batas bawah jumlah pemilih yang mencoblos dan menetapkan batasan minimal untuk bisa dinyatakan menang dari kotak kosong. Perberatan persyaratan ini akan memaksa kandidat untuk lebih berinteraksi dengan para pemilih. Pada saat yang sama, KPUD harus memberikan ruang bagi warga untuk mempromosikan memilih kotak kosong.
Beberapa catatan dan usulan perubahan ini diajukan dengan maksud utama mendorong pilkada sebagai ruang yang kondusif bagi pemilih dan juga kandidat. Pemilih bisa lebih saksama mempelajari kandidat, pun sebaliknya kandidat bisa lebih terfasilitasi mengeksplorasi gagasan-gagasannya. Catatan ini sejatinya juga bukan hal yang terlalu baru. Kini kembali dilontarkan sebagai ajakan agar pembentuk UU ataupun KPU(D) lebih berorientasi pada kebutuhan pemilih (dan juga kandidat). Bagaimanapun, pilkada adalah momen bagi pemilih dan kontestan, penyelenggara adalah pelayannya.

Yunarto Wijaya Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia (Sumber : Harian Kompas -9 Maret 2017)