February 27, 2017

Pembiaran Praktik Curang di Pilkada

Pembiaran Praktik Curang di Pilkada

Oleh Asrinaldi Asril 
  
Ancaman terhadap proses demokrasi elektoral yang perlu mendapat perhatian adalah terjadinya kecurangan yang sengaja dilakukan untuk memenangkan calon tertentu. Kecurangan (election fraud) terjadi tak hanya dalam pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan, tapi hampir di setiap pemilu.  Seakan-akan kecurangan ini menjadi bagian dari strategi pamungkas untuk memenangkan calon tertentu ketimbang menggunakan cara yang dibenarkan oleh undang-undang guna mendapatkan suara pemilih.
Padahal, pilkada ini merupakan refleksi kesepahaman antar-individu di ranah publik untuk memberi legitimasi pemimpin yang terpilih berdasarkan prinsip jujur dan adil. Sangat di sayangkan jika itu harus dinodai dengan cara-cara di luar aturan yang telah disepakati.  Umumnya kecurangan dilakukan secara sistematis dengan modus “seolah-olah” ini terjadi karena kesalahan administrasi pilkada atau kelalaian penyelenggara.  Pilihan alasan ini dimaksudkan agar tak ada protes dan tuntutan yang berlebihan sehingga dapat membatalkan kemenangan calon yang melakukan kecurangan tersebut.

Tidaklah mengherankan jika dalam setiap pilkada yang muncul adalah tudingan terjadinya kecurangan oleh pihak tertentu.  Dampaknya muncul sikap penafian terhadap hasil pilkada dari pihak yang merasa dicurangi.  Yang paling ekstrem, akan mencetuskan penolakan terhadap keputusan KPU disertai dengan kerusuhan massa dan kekerasan yang melibatkan pendukung calon yang kalah.  Dalam catatan sejarah pilkada di Indonesia, kerusuhan yang terjadi selalu diawali dengan perilaku curang.
Sangat mengherankan, antusiasme publik mengikuti pilkada justru harus dicederai dengan perbuatan curang oleh kelompok tertentu. Kelompok ini jelas memiliki hubungan dengan tim pemenangan calon kepala daerah.  Idealnya, kecurangan dalam pilkada dapat dicegah karena setiap tahapan pemilihan yang dilaksanakan selalu diawasi, mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga ke penghitungan suara.  Namun, mengapa masih saja terjadi kecurangan tersebut?
Penyebab dan penegakan hukum
Paling tidak ada empat faktor yang berkaitan langsung dengan perbuatan curang tim pemenangan calon kepala daerah. Pertama, rendahnya tanggung jawab bersama terhadap keberhasilan pelaksanaan demokrasi elektoral yang menjadi pilihan masyarakat.  Sungguh disayangkan, komitmen bersama yang sudah terbangun selama ini, yaitu menolak dikembalikannya sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD, harus dihancurkan oleh perbuatan curang ini.
Sangat jelas perbuatan curang itu telah memberikan pengaruh buruk pada perkembangan demokrasi di Indonesia.  Tanpa disadari, kepercayaan masyarakat terhadap pilkada akan menurun.  Jika ini yang terjadi, tentu suatu kemunduran dalam berdemokrasi yang sudah kita rasakan sejak pemerintahan Orde Baru mundur dari kekuasaan politiknya.

Kedua, tidak profesionalnya penyelenggara pilkada. Profesionalisme ini dapat dilihat dari kemampuan penyelenggara melaksanakan tugas kepemiluannya mulai dari tingkat KPPS hingga ke komisioner dalam melaksanakan tahapan pilkada. Dari pengamatan sekilas, refleksi ketidakprofesionalan ini dapat dilihat dari keberpihakan penyelenggara kepada calon tertentu. Indikasi lain adalah kurangnya surat suara sehingga pemilih tak dapat menggunakan suaranya, penggunaan data orang lain untuk mencoblos, adanya pemilih ganda, migrasi pemilih ke TPS di luar domisili mereka, tidak tersebarnya formulir C6 untuk masyarakat, dan manipulasi hasil penghitungan suara.
Memang tak mudah mencari penyelenggara yang profesional dan mampu melaksanakan pekerjaannya sampai selesai sesuai ketentuan yang ada, terutama di tingkat KPPS.  Sialnya, justru tingkat KPPS inilah yang cenderung terabaikan dan luput dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).  Padahal, KPPS adalah titik krusial terjadinya kecurangan dalam pilkada. Walaupun ada antisipasi untuk menurunkan praktik kecurangan dengan melibatkan saksi, sering kali praktik manipulatif yang dilakukan penyelenggara sulit diketahui publik.
Ketiga, hasrat besar tim sukses untuk memenangkan calonnya dengan segala cara. Hal ini terjadi karena adanya “kontrak” yang harus dilaksanakan agar mereka mendapat “bagian” dari kemenangan yang dicapai calon kepala daerah yang mereka dukung. Akibatnya, politik menghalalkan segala cara akan dilakukan, termasuk menafikan aturan perundang-undangan dan melakukan intimidasi kepada pemilih.
Selain itu, modus mendatangkan pemilih siluman dan melakukan politik uang juga sering ditemukan.  Celakanya, calon kepala daerah yang diharapkan bisa mencegah perbuatan curang tim pemenangan ini cenderung pasif dan menerima apa pun yang akan dilakukan oleh timnya agar bisa menang dalam pilkada.
Keempat, lemahnya pengawasan dan tidak adanya upaya penegakan hukum bagi yang melanggar aturan pilkada secara optimal. Banyak kecurangan dilaporkan masyarakat dan menjadi temuan panitia pengawas pilkada, tetapi jarang ditindaklanjuti menjadi kasus hukum yang berimplikasi pada pemidanaan. Bagi pelaku sendiri, keadaan ini tentu menguntungkan sehingga tidak ada rasa takut dan rasa bersalah ketika berbuat curang dalam pilkada berikutnya.
Praktik curang ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pilkada. Tindakan pencegahan harus dilakukan tidak hanya oleh penyelenggara, tetapi juga masyarakat yang menjadi aktor utama keberhasilan pelaksanaan pilkada.  Membangun kesadaran politik masyarakat menjadi salah satu cara mencegah munculnya kecurangan ini.  Paling tidak, dengan meningkatnya pemahaman masyarakat akan menutup celah bagi sejumlah pihak yang ingin merusak sistem demokrasi yang sudah terbangun ini.
 Apalagi, dalam waktu dekat juga akan berlangsung pilkada putaran kedua di DKI Jakarta yang akan dilanjutkan dengan pelaksanaan pilkada serentak gelombang ketiga pada bulan Juni 2018. Idealnya, harus ada upaya sungguh-sungguh untuk meniadakan kecurangan ini agar kepercayaan publik terhadap pilkada sebagai mekanisme memilih pemimpin secara jujur dan adil tetap terpelihara.


Asrinaldi Asril  Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas ( Sumber : Kompas, 27 Februari 2017)

February 12, 2017

Masa Kampanye Usai, Mari Sukseskan Pilkada

Kampanye Usai, Masa Tenang Dimulai
Masa tenang yang dimulai Minggu (12/2) hingga hari pemungutan suara, Rabu (15/2), merupakan momentum bagi 310 pasangan calon kepala daerah di 101 daerah yang menggelar pemilihan kepada daerah serentak untuk menurunkan tensi ketegangan. Namun, masa tenang ini perlu juga diwaspadai karena kerap terjadi kampanye terselubung dan politik uang. Sabtu (11/2) merupakan hari terakhir masa kampanye yang berlangsung sejak 28 Oktober 2016. Dengan berakhirnya masa kampanye, masing-masing tim sukses pasangan calon kepala daerah dalam 7 pemilihan gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota wajib menurunkan semua alat peraga di ruang publik.



Selain itu, pasangan calon juga harus menyerahkan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah setempat. Penyerahan LPPDK harus dilakukan minggu ini.Sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, selama masa tenang, baik pendukung, pasangan calon, tim sukses, maupun masyarakat umum, dilarang menggelar aktivitas yang sifatnya dukungan kepada calon. Pelanggaran ketentuan ini berakibat pidana penjara.
”Masa tenang ini memberi kesempatan bagi semua pihak merefleksikan diri dan menenangkan diri. Calon punya kesempatan untuk menurunkan tensi persaingan dan ketegangan. Pemilih juga bisa mempertimbangkan pilihannya,” kata Ketua KPU Juri Ardiantoro. Meski demikian, tim sukses pasangan calon masih dapat mengadakan konsolidasi internal seperti pembekalan saksi sepanjang tidak berbau kampanye. Pembekalan saksi ini, kata Juri, karena tim sukses juga perlu konsolidasi untuk bekerja mengawasi pemungutan dan penghitungan suara.

Deputi Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengingatkan agar pengawas pemilu lebih mencermati kemungkinan kecurangan yang dilakukan tim sukses pasangan calon di masa tenang. Setidaknya ada dua bentuk kecurangan yang terjadi di masa menjelang hari pemungutan suara, yakni politik uang dan kampanye terselubung.
Pengalaman Pilkada 2015, kampanye terselubung umumnya dilakukan pasangan calon dengan ”mendompleng” kegiatan sosial. Mereka menghadiri kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan, baik organisasi maupun masyarakat. Bentuk politik uang yang selama ini ditemui pemantau JPPR, antara lain, berupa pemberian langsung melalui ”koordinator” dan setelah pemilihan berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan data pelanggaran Bawaslu pada pilkada terdahulu, menurut anggota Bawaslu, Nasrullah, bentuk pelanggaran yang mendominasi selama masa tenang adalah politik uang dan kampanye terselubung.
Oleh karena itu, Bawaslu mewaspadai kampanye terselubung dan politik uang di masa tenang dengan memerintahkan pengawas pilkada di semua tingkatan dan mendorong peran masyarakat untuk ikut mengawasi potensi pelanggaran tersebut. ”Pengawas pemilu wajib menindaklanjuti informasi masyarakat dengan menginvestigasi dan klarifikasi ke lapangan. Jangan pandang bulu menerapkan pidana pemilu kepada pelanggarnya,” kata Nasrullah.
Masih gamang

Sementara itu, meski pilkada memasuki masa tenang, sebagian masyarakat Aceh masih merasa gamang. Mereka ingin memilih dengan tenang dan tanpa intimidasi. Syukri (49), warga Desa Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, mengatakan, pada pilkada sebelumnya, dia mendapatkan tekanan dari sekelompok orang untuk memilih calon tertentu. ”Katanya kalau di desa ini tidak menang, bantuan tidak akan diberikan,” ujar Syukri.
Untuk itu, pada pilkada kali ini, Syukri ingin memilih dengan hati nurani tanpa ada tekanan dari orang lain. ”Saya sama anak beda pilihan, tetapi saya tidak pernah paksa harus ikut pilihan saya,” ujarnya. Warga Pidie lainnya, Khairil (35), menuturkan, pada pilkada lalu keluarganya menjadi sasaran ”serangan fajar”. Selembar uang pecahan Rp 50.000 yang dimasukkan dalam plastik kecil bersama kartu nama calon tertentu membuatnya tak tenang.
”Saya mau kasih balik tidak tahu siapa yang menyelipkan uang itu ke bawah pintu rumah,” kata Khairil. Seperti pernah dilaporkan Ketua Panitia Pengawasan Pemilih (Panwaslih) Aceh Samsul Bahri, politik uang dan intimidasi jelang pencoblosan berpotensi terjadi di wilayahnya. Misalnya, panitia pengawas mulai menemukan pelanggaran seperti pembagian gula kepada warga (Kompas, 6/2).
Oleh karena itu, Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Roby Syah Putra, menyatakan, pada masa tenang ini, pihaknya akan lebih cermat dengan politik uang dan kampanye terselubung. ”Saya berharap kandidat patuhi aturan dan biarkan warga memikirkan siapa yang tepat dipilih,” kata Roby.
Jaga ketertiban
Di Yogyakarta, DIY, memasuki masa tenang pilkada, dua pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Yogyakarta menyatakan komitmennya untuk menjaga ketertiban dan kedamaian. ”Kami siap menciptakan Pilkada Kota Yogyakarta aman, tertib, dan damai demi terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat,” kata calon wali kota Yogyakarta, Imam Priyono, yang berpasangan dengan Achmad Fadli saat deklarasi Jogja Damai.
Imam juga menambahkan, sampai sekarang, ia dan tim pendukung tidak menerima laporan mengenai ancaman atau hasutan terkait pelaksanaan pilkada. Dia berharap, kondisi semacam itu bisa dijaga hingga hari pencoblosan. Calon wali kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, menambahkan, pihaknya berkomitmen menjauhi upaya keji, intimidasi, kekerasan, dan fitnah dalam Pilkada Yogyakarta. Haryadi yang berpasangan dengan Heroe Poerwadi juga mengatakan, pihaknya menolak segala bentuk praktik politik uang. ”Saya berharap tim kampanye kami terus menjaga ketertiban dan kesantunan selama masa tenang,” tuturnya.
Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Kota Yogyakarta, Iwan Ferdian, mengatakan, pihaknya mengimbau dua pasangan calon wali kota Yogyakarta beserta tim pendukungnya untuk tidak melakukan kampanye selama masa tenang pilkada. Larangan itu juga mencakup aktivitas kampanye melalui media sosial. ”Kami juga akan memantau akun media sosial pasangan calon,” katanya.
Larangan mengawasi TPS
Terkait dengan masa tenang, Kepolisian Negara RI mengharapkan seluruh pihak dapat menghormati masa tenang Pilkada 2017 dengan ikut menjaga keamanan dan kesejukan hingga hari pemungutan suara pada Rabu mendatang. Untuk itu, Polri meningkatkan keamanan di sejumlah wilayah yang dinilai rawan pelanggaran dan memperkuat patroli siber untuk mengantisipasi penyebaran berita bohong yang bermuatan politik.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rikwanto mengatakan, pada masa tenang diharapkan tidak ada lagi kegiatan yang bernuansa kampanye. Ia berharap, seluruh pihak, terutama pasangan calon kepala daerah, menghormati hak masyarakat yang dijamin kebebasannya untuk menentukan pilihan calonnya. ”Dalam kampanye, pasangan calon kepala daerah telah diberikan kesempatan untuk menyampaikan program. Akan tetapi, setelah masa kampanye, masyarakat jangan sampai terganggu, sehingga pada 15 Februari mendatang semua kembali ke jati diri,” ujar Rikwanto.
Lebih lanjut, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul menambahkan, pihaknya melakukan pengawasan terkait penyebaran informasi terkait kampanye di media sosial. Polri akan berkomunikasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan pemblokiran situs atau akun media sosial yang menyebarkan konten kampanye pada masa tenang.
”Bagi akun media sosial yang menyebarkan informasi yang melanggar Undang-Undang Pilkada akan kami rekomedasikan untuk diblokir. Kami juga memantau beberapa akun yang dianggap melanggar UU Pilkada,” kata Martinus. Terkait adanya dugaan pelanggaran kampanye dan masa tenang, Rikwanto meminta masyarakat segera melaporkan temuan tersebut kepada kepolisian atau penyelenggara pemilu, seperti Bawaslu dan Panwaslu.
Polri juga akan melarang setiap kelompok masyarakat yang tanpa izin berbondong-bondong ikut mengawasi saat proses pemungutan suara di setiap tempat pemungutan suara (TPS) yang terindikasi mengintimidasi dan mengancam setiap calon pemilih yang akan menjalankan haknya. ”Pengawas telah diatur oleh KPU yang berasal dari saksi tiga calon gubernur. Tidak boleh ada kelompok masyarakat yang ikut hadir di tempat pemungutan suara. Kalau melanggar, kami akan mengamankan,” kata Rikwanto.
Sementara itu, aksi 112 yang menghadirkan massa dan ulama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu, berjalan aman dan lancar. Massa yang datang sejak Jumat (10/2) malam dari sekitar Jakarta terus berada di masjid hingga siang kemarin. Selain zikir, massa juga mendengarkan tausiah.
Calon gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono, dan pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, hadir dalam acara zikir dan tausiah nasional tersebut. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Irjen M Iriawan yang hadir dalam keterangan pers di Masjid Istiqlal menyatakan terima kasihnya kepada massa yang telah melakukan kegiatan zikir dan tausiah nasional secara tertib dan lancar.
Ditanya pers terkait dugaan aksi kekerasan yang dialami sejumlah jurnalis saat meliput acara tersebut, Iriawan berjanji akan menindaklanjutinya. Sebelumnya, saat menjadi Inspektur Apel Kesiapsiagaan Pengamanan Tahap Pemungutan Suara dilanjutkan show off force di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Iriawan menegaskan akan bersama-sama dengan aparat keamanan lainnya menjaga keamanan dan kelancaran masa tenang dan saat pemungutan suara di Ibu Kota.

Apel kesiapsiagaan itu juga dihadiri oleh Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Sumarsono, Panglima Kodam Jaya Mayjen Teddy Lhaksmana, dan jajaran aparat keamanan lainnya. ( Sumber : Kompas, 12 Februari 2017, Gal/San/Ain/Hrs/Ire/Wad/Win)