July 20, 2018

Pilkada Serentak 2020 : Munculnya Pola Kepemimpinan Ala Joko Widodo



Pilkada Serentak 2020 :  Munculnya Pola Kepemimpinan Ala Joko Widodo

 Oleh Arya Fernandes 

Pilkada serentak yang digelar 27 Juni lalu menandai terjadinya regenerasi dan perubahan kepemimpinan di tingkat lokal. Perubahan pertama tampak dari kemenangan tokoh nonpartai politik pada tiga provinsi, yaitu Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, dan Khofifah Indar Parawansa. Kemenangan tiga tokoh tersebut menjadi penting mengingat ketiganya memiliki rekam jejak yang baik, punya pengalaman memimpin dan inovasi politik di tingkat lokal, serta berasal dari kelompok profesional.
Pilkada lalu juga menunjukkan kegagalan petahana gubernur/wakil gubernur dalam mempertahankan kursinya. Dari 10 petahana gubernur/wakil gubernur yang mencalonkan diri di pilkada provinsi, delapan di antaranya kalah. Hanya dua petahana berhasil menang, yaitu Ganjar Pranowo di Jawa Tengah dan Lukas Enembe di Papua. Sementara pilkada di tujuh provinsi digelar tanpa diikuti petahana.
Perubahan kedua, adanya semangat perubahan politik pemilih di tingkat provinsi yang ditunjukkan dengan gagalnya sejumlah calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan dinasti politik lokal. Di antaranya, kekalahan Dodi Reza Alex Noerdin (putra Gubernur Sumatera Selatan dua periode),  Karolin Margret Natasa (putri Gubernur Kalimantan Barat dua periode) dan Ichsan Yasin Limpo (adik Gubernur Sulawesi Selatan dua periode).
Dua perubahan tersebut akan memengaruhi konfigurasi kepemimpinan nasional setelah Pemilu 2019. Para kepala daerah terpilih pada 2018 tersebut akan menjabat pada periode 2019- 2024. Waktu tersebut menjadi penting mengingat akan dilaksanakan pemilu presiden pada 2024. Artinya, pada 2024, Indonesia akan memiliki stok kepemimpinan nasional yang berlimpah, yang salah satunya berasal dari kepala daerah di tingkat provinsi, baik yang berasal dari parpol maupun kalangan profesional.
Perubahan politik di tingkat lokal pada 2018 ini melanjutkan fenomena kemenangan Joko Widodo pada 2014, ketika faktor perubahan politik di tingkat lokal akan memengaruhi prestasi politik di tingkat nasional. Gelombang perubahan di tingkat lokal ini sejatinya memberi sinyal baru perubahan sirkulasi elite di tingkat pusat, terutama suksesi dan pergantian kepemimpinan di internal parpol. Gelombang perubahan di beberapa provinsi membawa pesan yang sama, yaitu soal pentingnya integritas, inovasi, kompetensi, dan pengalaman kepemimpinan. Pentingnya pengalaman memimpin itu juga ditunjukkan dari hasil pilkada di tingkat provinsi lalu. Delapan dari 17 gubernur yang terpilih pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat kabupaten/kota.

Kelompok profesional

Perubahan perilaku pemilih dan perubahan teknologi diperkirakan akan memengaruhi perubahan struktur elite di internal parpol. Perubahan perilaku pemilih tampak dari alasan memilih pemilih yang sangat dipengaruhi faktor kompetensi dan kredibilitas calon dibandingkan faktor identitas dan asal partai. Sejumlah hasil riset yang dilakukan SMRC dan Lembaga Survei Indonesia sejak 2004 menunjukkan pemilih yang semakin rasional. Sementara perubahan teknologi informasi mengubah cara calon dan parpol dalam berkampanye kepada masyarakat.
Survei nasional yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) sejak 2015 sampai 2017 menunjukkan adanya peningkatan akses publik terhadap internet dan media sosial. Pada survei Agustus 2017, misalnya, sekitar 30,9 persen atau lebih dari 50 juta pemilih sudah punya akun Facebook.
Dengan perubahan ini, parpol dipaksa beradaptasi dengan perubahan dan mengakomodasi kelompok profesional baru dalam struktur kepemimpinan partai. Karena jika partai masih mengandalkan orang-orang lama yang tak terkoneksi dengan dunia digital, partai diperkirakan akan kesulitan berkomunikasi dengan pemilih pemula dan pemilih milenial. Ke depan, parpol yang tak mempunyai koneksi ke teknologi baru akan kesulitan menghadapi perubahan demografi pemilih. Tak heran apabila beberapa parpol sejak lama sudah mulai mempersiapkan konsultan profesional untuk mengelola konten di media sosial dan pengembangan teknologi informasi.
Peran penting teknologi ini diingatkan oleh Bull dan Aguilar (2016) bahwa kemampuan dalam mengontrol kapital dan politik tidaklah cukup tanpa kemampuan mengontrol pengetahuan dan teknologi.  Hari ini, elite profesional adalah kelompok yang paling cepat beradaptasi dengan perubahan teknologi. Beberapa kepala daerah terpilih, misalnya, mempunyai kemampuan dalam mengelola isu dan memiliki jumlah pengikut yang banyak di medsos. Mereka juga punya concern pada isu-isu yang tersegmentasi, seperti pembenahan tata kota, sosial, dan pemberdayaan masyarakat perdesaan. Elite baru ini juga memelopori pentingnya isu-isu politik pada level mikro.
Apabila parpol terbuka dan transparan dalam hal rekrutmen kader dan kepala daerah, saya kira akan membuat kalangan profesional bergabung dengan parpol. Selama ini, kelompok profesional masih enggan bergabung karena proses penjaringan yang masih tertutup dan rentan penggunaan uang dan politik patronase.




Regenerasi politik

Perubahan politik ke depan saya kira akan dimulai dan didorong dari daerah dan tak lagi dari pusat kekuasaan. Dalam lima tahun terakhir, kita memiliki kepala daerah yang berprestasi dan berdedikasi. Meskipun sebagian juga bermasalah karena tersangkut masalah hukum dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, hal itu tak membuat kita berhenti optimis untuk terus mencari orang-orang baik dari daerah.
Dari sisi usia, misalnya, sensus parpol yang dilakukan CSIS pada 2015 dengan mewawancarai semua ketua partai pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota menunjukkan, mayoritas pimpinan partai di daerah berusia di bawah 45 tahun. Pilkada 2018 ini juga menunjukkan, beberapa gubernur terpilih mempunyai inovasi dan kepemimpinan politik yang berintegritas.
Politik Indonesia kontemporer sudah banyak mengalami perubahan, terutama dari sisi pemilih yang semakin cerdas dan bijak dalam berpolitik. Harapan perubahan justru harus terus didorong dari parpol, terutama terkait aspek regenerasi, rekrutmen, dan kaderisasi partai. Beberapa partai sudah mulai terbuka dan fleksibel dalam melihat tren perubahan pemilih, tetapi sebagian lainnya masih tertutup. Parpol memang harus mencari jalan tengah dalam hal rekrutmen pemimpin, yaitu dengan mengombinasikan antara kader dan nonkader profesional.
Arya Fernandes Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS : Sumber - Pilkada Serentak  dan Kepemimpinan Nasional, Kompas.id, 20 juli 2018

July 8, 2018

Dukungan TGB Untuk Jokowi, Potret Akal Sehat Pemimpin Muslim*




Dukungan TGB Untuk Jokowi, Potret Akal Sehat Pemimpin Muslim

Oleh : Abdullah Umar 

Sejak Rabu malam, (4/7/2018) jagat media sosial di Indonesia dipenuhi oleh pemberitaan yang memuat pernyataan Gubernur Nusa Tenggara Barat sekaligus salah satu ulama, Tuan Guru Bajang (TGB) mendukung Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan kepemimpinannya di 2019-2024. Pernyataan itu cukup mengagetkan semua pihak, khususnya pihak oposisi. Apalagi, nama TGB termasuk yang direkomendasikan PA 212 (forum anti Jokowi) sebagai calon presiden di Pipres 2019. Bagi saya, apa yang dilakukan TGB menunjukkan potret akal sehat seorang pemimpin muslim.
*Siapa sebenarnya TGB?* Nama aslinya ialah TGH Muhammad Zainul Majdi, Lc. Gelar Lc nya didapat pada 1996 setelah ia lulus studi tentang Tafsir Ilmu dan Al Qur’an di Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir. Ia pun meraih gelar doktor di kampus yang sama pada 2011. Nama TGB dalam bahasa NTB berarti Haji Muda yang suka mengajar (ilmu Islam). Darah ulama dalam diri TGB juga mengalir dari kakeknya, M. Zainuddin Abdul Majid yang merupakan salah satu pahlawan nasional dari NTB.
Setelah menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009 dari Partai Bulan Bintang, pada 2008 ia terpilih menjadi Gubernur NTB setelah diusung PKS dan PBB, dua partai yang memang memiliki basis masa yang cukup kuat di sana. Pada 2013, ia kembali terpilih menjadi Gubernur NTB, namun saat itu ia didukung oleh Partai Demokrat. TGB pun hingga saat ini tercatat sebagai kader Partai Demokrat.
Di hadapan media, TGB menyampaikan, alasannya mendukung Jokowi untuk memimpin dua periode, yaitu keberlanjutan pembangunan yang sudah dimulai Jokowi selama 4 tahun belakangan. Ia menilai, Jokowi telah meletakan dasar-dasar pembangunan yang baik di seluruh wilayah Indonesia termasuk di NTB. Oleh karena itu, jika 2019 berganti presiden, suasana kebatinan rakyat akan terganggu, keberlanjutan pembangunan pun akan terancam.
Seperti yang kita ketahui, di era Jokowi, pembangunan infrastruktur di wilayah Timur Indonesia gencar dilakukan. NTB menjadi salah satu daerah yang mendapatkan manfaat besar, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dibangun untuk menjadikan NTB sebagai pusat destinasi wisata baru di Indonesia yang berskala internasional. Masyarakat sekitar pun mulai merasakan berdenyutnya roda perekonomian di sana.
TGB dengan segala rekam jejaknya tentu tidak sembarangan dalam bertindak, sebagai sesama mahasiswa yang mengenyam pendidikan di Mesir, saya paham nilai ke-Islaman pasti menjadi rujukan dalam setiap pilihan.
Mungkin saja sebagai seorang ulama, TGB menilai Jokowi pemimpin yang memiliki keberpihakan besar bagi umat muslim. Perhatian Jokowi pada tanah waqaf (sertifikasi tanah waqaf), program ekonomi umat di berbagai pesantren, hingga sikap adilnya dengan membangun infrastruktur tidak hanya berpusat di Jawa, sesuai dengan standar kepemimpinan yang dianjurkan oleh Islam.

Apalagi, sebagai pemimpin di daerahnya, TGB dapat melihat jelas masyarakatnya masih begitu mencintai Presiden Jokowi. Bisa dipahami, keputusan TGB mendukung Jokowi merupakan potret akal sehat dari seorang pemimpin muslim.
Sebaliknya, kejadian ini seolah tamparan keras bagi para lawan Jokowi. Khusus bagi PKS, ini merupakan goncangan yang cukup berarti, mengingat di Pilpres 2014 lalu, NTB menjadi daerah no.2 dengan presentase kekalahan Jokowi terbesar setelah Sumatera Barat. Saat itu di NTB, Jokowi-JK hanya meraih 27,55 persen suara. Maklum, dengan basis massanya yang kuat di sana, PKS menjadi mesin utama pemenangan Prabowo-Hatta.
Bahkan di Sumatera Barat, di mana Jokowi hanya meraih 23,08 persen suara di Pilpres 2014, masyarakatnya sempat dibuat gempar setelah di bulan ramadan kemarin, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mendoakan Presiden Jokowi agar bisa memimpin dua periode. Irwan juga sempat menulis di media cetak lokal bahwa ia belajar banyak dari cara blusukan Jokowi bahwa pemimpin harus turun langsung ke rakyat. Irwan merupakan kader PKS.
Abdullah Umar - Mahasiswa Indonesia di Universitas Cairo, Mesir



Selamat Datang Kembali Politik Akal Sehat di Indonesia!!!
Copas dari Bu Sri Susetyo Putri pada Facebook –Rekan UGM Untuk Jokowi

#TGBuntukIndonesia
#Rekan UGM Untuk Jokowi

May 7, 2018

Membaca Arah Pemilih Milenial



Oleh  Hanta Yuda AR


KOMPETISI politik elektoral 2019 diperkirakan akan didominasi generasi milenial. Berdasarkan proporsi usia pemilih, Pemilu 2019 akan diikuti oleh sekitar 40% pemilih usia 17-35 tahun. Itu artinya generasi milenial akan turut mewarnai peta dukungan politik 2019, bahkan akan menentukan siapa calon presiden Indonesia mendatang.Karakter mendasar yang membedakan generasi X (36 tahun-55 tahun) maupun generasi baby boomers (55 tahun ke atas) dengan generasi milenial (17 tahun-35 tahun) adalah melek informasi dan terkoneksi (connected) melalui jejaring media sosial digital, yang terhubung melalui internet. Media sosial yang kini menjadi salah satu 'mesin politik' efektif untuk melakukan propaganda politik maupun penetrasi isu adalah dunia yang sangat akrab dengan generasi milenial.



Di titik inilah, karena typical mereka sebagai generasi digital native, yang sangat melek informasi dan kerap bercengkrama dengan smartphone dan media sosial, menjadikan generasi milenial sejatinya tidak hanya strategis secara kuantitas, tetapi juga amat penting sebagai salah satu 'mesin' propaganda isue politik dalam memobilisasi dukungan suara elektoral.

Eksposure dan aktivitas digital generasi ini sangat berpengaruh pada sirkulasi isu-isu menjelang pemilu. Apalagi, konten digital sangat berpengaruh pada generasi pemilih matang yang lebih banyak menerima dibandingkan memverifikasi atau memproduksi konten sebagaimana yang dilakukan oleh generasi milenial. Meskipun secara konseptual pemilih milenial merujuk pada generasi Y (21 tahun-35 tahun), penggunaan pemilih milenial yang juga mencakup generasi Z (17 tahun-20 tahun) akan lebih memudahkan kita dalam pembacaan pemilih muda dan pemilih matang (lebih dari 35 tahun).
Lalu pertanyaannya, ke mana arah preferensi politik para pemilih milenial ini?
Paling tidak ada tiga poin penting untuk membaca arah dan preferensi politik pemilih milenial; 1. potensi partisipasi politik dan kemantapan pilihan, 2. sensitifitas pada isu sosial/kebijakan, 3. dan tentunya adalah soal preferensi terhadap kandidat dan pilihan politiknya dalam pemilu, baik karakter kandidat yang disukai maupun dukungan personal terhadap kandidat.

Pemilih galau

Berdasarkan data survei Poltracking Indonesia pada Februari 2018, potensi partisipasi pemilih milenial pada pemilu 2019 pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan generasi pemilih matang (36 tahun ke atas). Potensi partisipasi (responden yang menjawab akan menggunakan suaranya pada pemilu 2019) kedua kelompok ini berada pada angka 76%-77%.

Namun demikian, hal yang menarik adalah ketetapan pilihan generasi milenial terhadap pilihan partai dan kandidat capres lebih rendah dibandingkan generasi matang. Ada sekitar 60% pemilih milenial yang tidak punya ketetapan pilihan politik dibandingkan pemilih matang yang separuhnya (50%) sudah matang dengan pilihan politiknya. Singkatnya, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Poltracking, preferensi pilihan figur capres oleh milenial belumlah solid apalagi dikotomis sebagaimana produk politik pemilu 2014.
Pemilih milenial akan mencari tahu dan meverifikasi kandidat secara mandiri tidak bergantung pada sosialisasi politik di dalam keluarga. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya partisan identification atau Party ID kelompok pemilih ini, sekitar 17,5%. Party ID adalah produk dari pendekatan psikologis yang dibangun oleh Campbell et al (1960) di Universitas Chicago lebih dari setengah abad yang lalu.

Tesisnya adalah bahwa sosialisasi politik di dalam keluarga ketika masa kecil dan remaja akan menciptakan perilaku politik berdasarkan preferensi partai di dalam keluarganya. Akhirnya, asosiasi pemilih terhadap partai dilihat sebagaimana asosiasi pemilih terhadap agama atau identitas rasional mereka. Artinya, Party ID yang rendah tersebut menjelaskan bahwa siapapun figur yang diusung oleh partai yang mereka pilih atau yang ada di dalam keluarga, tidak terlalu berpengaruh pada pilihan capresnya.
Hal menarik lain dari potensi keterlibatan generasi milenial dalam pilpres mendatang, adalah generasi ini menyatakan masih mungkin berubah dalam menentukan/memilih siapa kandidatnya (63%). Karena itu, pemilih milenial terbilang pemilih kritis yang masih 'galau'. Meskipun hal itu masih dapat dipahami bahwa hingga saat ini belum ada kandidat yang secara solid menarik bagi generasi milenial. Mereka masih wait and see siapa-siapa kandidat yang mampu memberi ekspektasi besar bagi masa depan kaum milenial.
Namun, kabar baiknya, generasi milenial merespons positif Pilpres 2019 mendatang dengan cukup tigginya potensi partisipasi dari segmentasi pemilih ini. Data terbaru survei Poltracking Indonesia misalnya menunjukkan bahwa 78,4% generasi milenial menyatakan akan menyoblos pada pilpres mendatang. Ini adalah kabar baik bagi demokrasi di Indonesia sekaligus menunjukkan bahwa arus deras informasi membuat generasi milenial Indonesia tidak alergi dengan politik.

Pemilih rasional-sosiologis

Preferensi pemilih milenial terhadap latar belakang kandidat presiden, berdasarkan data survei Poltracking Indonesia Februari 2018, yang cukup menarik sekaligus mengejutkan adalah preferensi sosiologis sedikit lebih banyak diletakkan pada agama yang dianut kandidat (27%) dibandingkan kinerja kandidat (17%), dan delapan faktor-faktor latar belakang kandidat lainnya yang berada di bawah 10%.

Namun demikian, jika 10 faktor latar belakang figur capres kita simplifikasi ke dalam tiga klasifikasi yaitu faktor rasional (kinerja rekam jejak, kompetensi, dan visi), faktor sosiologis (latar agama, etnis, dan asal daerah), serta faktor psikologis kandidat (usia, gender, dan karakter personalnya), maka pemilih milenial cenderung rasional (39%) dibandingkan sosioligis (30%).

Berdasarkan data ini, harus diakui bahwa program kebijakan yang sudah dilakukan oleh kandidat petahana ataupun program yang ditawarkan oleh kandidat capres penantang, akan mempunyai efek tidak jauh berbeda dengan isu-isu yang berkaitan dengan identitas sosial pemilih milenial, baik agama, etnis, dan kelompok kedaerahan yang menjadi basis identitas pemilih termasuk kelompok milenial.
Tentu ekspektasi kita adalah sejauh mana para kandidat capres dan winning team-nya mampu mengeksplorasi dan mengoreksi program kebijakan dibandingkan mengeksploitasi isu sosiologis dan identitas.Atribusi variabel-variable sosiologis memang tidak bisa dilepaskan dari kandidat capres. Namun demikian, kemenangan Jokowi atas Prabowo pada 2014 pada dasarnya menunjukkan bahwa bagaimanapun juga rasionalitas pemilih yang diletakkan pada evaluasi kinerja dan performance kandidat, lebih banyak dihitung oleh pemilih dibandingkan sentimen yang 'dibangun' atas identitas.

Terlepas dari argumen psikologis ini, skema penyerentakan pemilu antara kursi presiden dan kursi legislatif bisa jadi akan menghasilkan output elektoral yang sama sekali berbeda dengan 2014. Kelompok pemilih milenial juga boleh jadi sangat kuat menerima efek coattail dari skema pemilu serentak tersebut.Artinya, meski kedekatan kelompok pemilih ini dengan partai terbilang rendah, angka straight ticket voting (linieritas antara pilihan capres dan kandidat-kandidat partai di semua level) bisa jadi akan tinggi.

Preferensi capres

Dari sisi preferensi terhadap karakter atau sifat kandidat yang disukai, data survei Poltracking menunjukkan bahwa pemilih generasi milenial menginginkan kandidat dengan karakteristik merakyat (35%), dan jujur/berintegritas (11,8%).Fenomena ini menunjukkan bahwa generasi milenial menyukai kandidat yang menyatu dan tak berjarak dengan 'gaya hidup' mereka (merakyat).Selain itu, juga menyukai karakter jujur, boleh jadi efek bias dari banyaknya informasi media terkait kasus-kasus korupsi akhir-akhir ini.

Secara lebih spesifik, pemilih pada kelompok usia ini juga mempunyai preferensi figur capres yang 'mengkombinasikan' personalitas Jokowi dan Prabowo, yaitu merakyat (26%) dan tegas (13%).Lebih dari 10 variable karakteristik figur capres lainnya yang diajukan dalam pertanyaan hanya dipilih kurang dari 10% kelompok pemilih milenial. Hal inilah yang menjelaskan kelompok pemilih milenial tidak terlalu solid (di bawah 50%) dalam mendukung petahana Jokowi sebagai capres, dibandingkan pemilih matang yang cenderung lebih solid di atas 50%.
Namun demikian, preferensi pada figur yang merakyat dan tegas pada dasarnya bukanlah hal yang unik dalam perilaku memilih.Preferensi ini cukup menjelaskan teori valensi dalam psikologi pemilih, di mana pemilih akan memilih kandidat yang dianggap mampu menyediakan kebutuhan-kebutuhan umum atau dasar seperti lapangan kerja, pendidikan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Hal ini juga terkonfirmasi dalam survei Poltracking.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana pemilih milenial mengeksplorasi diri dan memperlakukan konten di dalam platform digital terutama media sosial yang merupakan 'dunia nyata' mereka.Kondisi itu tentu menjadi peluang sekaligus tantangan bagi setiap parpol dan kandidat presiden. Mereka harus segera melakukan inovasi dan lebih berkonsentrasi membangun panggung kontestasi yang sehat, di dalam dunia digital demi mendulang suara pemilih milenial.


Sumber : Media Indonesia 23 April,2018 - Hanta Yuda AR Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia



April 7, 2018

Caleg Berintegritas, Menutup Peluang Mantan Koruptor



Caleg Berintegritas, Menutup Peluang Mantan Koruptor

Oleh Emerson Yuntho 

Komisi Pemilihan Umum mengusulkan, bekas narapidana perkara korupsi dilarang mencalonkan diri pada Pemilihan Umum Legislatif 2019. Selain itu, KPU juga mengusulkan agar mereka yang ingin jadi calon anggota legislatif harus menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Kedua usulan ini nantinya akan ditambahkan sebagai ketentuan baru dalam peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan anggota legislatif. KPU beralasan bahwa pengaturan ini bertujuan agar masyarakat dapat memilih calon anggota parlemen yang bersih dan punya rekam jejak yang baik.Rencana KPU melarang narapidana korupsi mendaftar sebagai caleg dan keharusan pelaporan kekayaan sebagai syarat pencalonan dalam Pemilu 2019 layak diapresiasi. Regulasi ini diharapkan dapat mendorong Pemilu 2019 yang lebih demokratis dan berintegritas.

Larangan mengenai bekas narapidana korupsi jadi caleg dan pelaporan kekayaan dapat dikatakan sebuah terobosan karena ketentuan tersebut tidak diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.Pasal 240 Huruf g UU Pemilu hanya mensyaratkan caleg tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan bekas terpidana. Aturan ini tentunya berbeda dengan periode sebelumnya, yaitu tahun 2013, di mana KPU membolehkan bekas narapidana perkara korupsi ikut dalam Pemilu 2014. Akibatnya, sejumlah eks narapidana korupsi kemudian mendaftarkan diri jadi caleg. Sungguh ironis, ternyata masih ada bekas terpidana korupsi yang akhirnya terpilih menjadi wakil rakyat.

Keberadaan caleg tidak berintegritas tentu saja akan menambah masalah bagi parlemen—baik di pusat maupun di daerah—di kemudian hari. Muncul kekhawatiran keberadaan bekas koruptor dalam parlemen hanya akan menularkan bibit korupsi kepada anggota legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah ia lakukan. Tidak dapat dimungkiri citra parlemen selama ini tercoreng akibat sejumlah perkara korupsi yang melibatkan anggotanya. Pada 2014, Indonesia Corruption Wacth (ICW) menemukan sedikitnya 59 anggota dewan terpilih (DPR, DPRD, DPD) periode 2014-2019 yang tersangkut perkara korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2014 menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD se- Indonesia pernah tersangkut perkara korupsi selama kurun 2004-2014. Peristiwa terbaru adalah ketika KPK menetapkan tersangka korupsi secara massal terhadap 38 anggota DPRD Sumatera Utara dan 19 anggota DPRD Kota Malang. Masuknya eks koruptor sebagai anggota legislatif tentu saja akan semakin menguatkan ketidakpercayaan rakyat terhadap parlemen.

Pelaporan kekayaan

Pada sisi lain, keharusan menyerahkan laporan kekayaan pada awal pencalonan juga diharapkan dapat meminimalkan rendahnya pelaporan kekayaan para anggota legislatif yang kelak terpilih. Sudah rahasia umum jika sudah terpilih biasanya banyak anggota legislatif yang malas bahkan tak mau melaporkan kekayaannya kepada KPK. Hal ini dibuktikan dari data KPK tahun 2016 yang menyebutkan baru 62,75 persen dari 545 anggota DPR periode 2014-2019 yang menyerahkan LHKPN. Selebihnya, 37,25 persen atau 203 wakil rakyat belum melaporkan kekayaan mereka. Tidak hanya DPR, sebanyak 9.676 anggota DPRD di seluruh Indonesia juga belum menyetorkan LHKPN.

Padahal, pelaporan kekayaan merupakan salah satu bentuk komitmen antikorupsi setiap pejabat publik, termasuk anggota legislatif. Apalagi kewajiban pelaporan kekayaan anggota Dewan merupakan mandat dari UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Pasal 5 Ayat 3 regulasi tersebut menegaskan, anggota DPR/DPRD selaku penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat.

Hanya saja, jadi atau tidaknya aturan melarang eks narapidana korupsi mendaftar dan pelaporan kekayaan dapat diakomodasi dalam peraturan KPU sangat bergantung pada keberanian KPU sendiri. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU berhak membuat aturan pelaksanaan pemilu sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemilu. Dalam kondisi tertentu terobosan hukum bisa saja dilakukan KPU untuk memastikan bahwa pemilu dapat berjalan secara demokratis dan berintegritas.

Untuk memastikan caleg yang ikut pemilu adalah figur berintegritas, akan sangat baik jika dalam PKPU juga diperluas larangan mendaftarkan diri sebagai caleg tidak saja bagi bekas narapidana korupsi, tetapi juga terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana perkara korupsi. Bahkan, untuk mencegah figur bermasalah mendaftar, KPU dapat menambahkan syarat pencalonan berupa adanya Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan Surat Pernyataan Tidak Pernah Dijatuhi Pidana yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri setempat. Kedua syarat ini lazim digunakan dalam seleksi calon pegawai negeri sipil dan calon pejabat publik lainnya.
Menghadirkan caleg berintegritas seharusnya juga didukung partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019 sebagai bentuk komitmen mereka terhadap upaya pemberantasan korupsi. Selama ini parpol sering mengabaikan aspek integritas kader-kadernya yang akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Mereka lebih mengutamakan caleg yang loyal dan punya kemampuan finansial daripada figur yang punya rekam jejak dan integritas yang baik.
Jika Pemilu 2019 diikuti oleh caleg yang berintegritas atau minim masalah hukum, tentu saja publik akan punya harapan bahwa anggota legislatif yang terpilih nantinya mau bekerja sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika semua caleg yang terpilih tidak lagi diragukan integritasnya, tentu saja citra parlemen akan semakin baik di mata publik.
Sumber :  Kompas.id, 7 April 2018, Caleg Berintegritas, Emerson Yuntho Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

March 15, 2018

Cinta Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Bangsa

Cinta Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Bangsa
Jumlah halaman-355 halaman
ISBN-978-602-1062-80-7
Cetakan ke-3





Mencintai Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Bangsa bermakna menjaga kedaulatan Negara dengan cerdas di meja-meja perundingan perbatasan. Para juru runding memahami benar perbatasannya.Mencintai Ujung Negeri juga bermakna mencintai wilayah Perbatasan dan menjadikannya halaman Depan Bangsa.Untuk mewujudkan rasa cinta di ujung negeri sejatinya, diperlukan sebuah aksi bersama yang meliputi: Penyelesaian penegasan batas baik di darat maupun di laut. Penegasan perbatasan kita dengan sepuluh negara tetangga hingga kini belum ada satupun yang sudah selesai dan juga punya berbagai masalah.

Membangun perekonomian perbatasan kata kuncinya adalah membuka isolasi dengan membangun infrastruktur seperti jalan paralel perbatasan dan kemudian menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan dan itu kini tengah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK.Kini pemerintah sudah berpihak secara jelas. Memprioritaskan pembangunan di wilayah perbatasan dengan membuka jalan paralel perbatasan, memperbaharui sarana dan fasilitas PLBN, menkoneksikannya dengan Tol laut dan Tol Udara, sehingga terbuka lebar bagi tumbuhnya kota-kota khusus perbatasan. Kota yang mampu membawa produk Indonesia dapat bersaing dengan produk negara-negara tetangga. Pemerintah juga menghendaki agar TNI dan Polri melakukan Gelar Ulang kekuatannya agar wilayah perbatasan bisa lebih menjanjikan dengan rasa aman.

Mencintai Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Bangsa bermakna menjaga kedaulatan Negara dengan cerdas di meja-meja perundingan perbatasan. Para juru runding memahami benar perbatasannya.Mencintai Ujung Negeri juga bermakna mencintai wilayah Perbatasan dan menjadikannya halaman Depan mewujudkan rasa cinta di ujung negeri sejatinya, diperlukan sebuah aksi bersama yang meliputi: Penyelesaian penegasan batas baik di darat maupun di laut. Penegasan perbatasan kita dengan sepuluh negara tetangga hingga kini belum ada satupun yang sudah selesai dan juga punya berbagai masalah.

Membangun perekonomian perbatasan kata kuncinya adalah membuka isolasi dengan membangun infrastruktur seperti jalan paralel perbatasan dan kemudian menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan dan itu kini tengah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Kini pemerintah sudah berpihak secara jelas. Memprioritaskan pembangunan di wilayah perbatasan dengan membuka jalan paralel perbatasan, memperbaharui sarana dan fasilitas PLBN, menkoneksikannya dengan Tol laut dan Tol Udara, sehingga terbuka lebar bagi tumbuhnya kota-kota khusus perbatasan. Kota yang mampu membawa produk Indonesia dapat bersaing dengan produk negara-negara tetangga. Pemerintah juga menghendaki agar TNI dan Polri melakukan Gelar Ulang kekuatannya agar wilayah perbatasan bisa lebih menjanjikan dengan rasa aman.

Dengan adanya BNPP maka salah satu yang diharapkan darinya adalah mewujudkan perbatasan menjadi sebuah lokomotive ekonomi regional atau Asean yang berpusat di Perbatasan; pembangunan seperti ini sekaligus jadi role model bagaimana wilayah perbatasan di kembangkan dan sekaligus tantangan kepada BNPP. Hanya saja dapatkah BNPP berperan sesuai dengan Visi dan Misinya? Kenapa BNPP? Karena BNPP adalah otoritas pengelola perbatasan, BNPP mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. 

Dari segi kerja sama regional maka BNPP sejatinya diharapkan jadi fasilitator dalam mempererat para petugas atau pejabat di lingkungan perbatasan dengan negera tetangga. Sebab bagaimanapun sederhananya ekonomi perbatasan yang akan dikembangkan sudah barang tentu dia harus didukung oleh para pelaksana lapangan. BNPP dan Kemlu serta Pemda perbatasan terkait bisa sinergis untuk memuluskan kerja sama dalam mengoptimalkan pemberdayaan ekonomi perbatasan. Konsep pengembangan ekonomi perbatasan memang menekankan hal seperti itu, yakni memanfaatkan potensi masing-masing wilayah untuk bisa memberikan kontribusi terbaik.

Seiring dengan berlakunya perdagangan bebas ASEAN serta kesepakatan kerjasama ekonomi regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Kerjasama sub-regional seperti AFTA (Asean Free Trade Area), IMS-GT (Indonesia Malaysia Singapura Growth Triangle), IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle), BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina-East Asian Growth Area) dan AIDA (Australia Indonesia Development Area) perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga dengan jalan memberikan tempat yang pas di perbatasan serta dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak secara seimbang. 

Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan sub-regional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan serta program pembangunan yang nyata, menyeluruh dan terpadu sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang menyebabkan sumberdaya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan akan tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagai masyarakat dan pemerintah. Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan sub-regional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar, oleh karena itu diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.

March 14, 2018

Pilpres 2019 Tanpa Penantang Sebanding, Bagai Badai dalam Secangkir Kopi




Pilpres 2019 Tanpa Penantang Sebanding, Bagai Badai dalam Secangkir Kopi

SALAH satu kriteria penting dalam mengukur demokratisasi internal partai ialah sejauh mana proses kandidasi pejabat publik seperti calon presiden, gubernur, bupati atau wali kota, berjalan demokratis. Pada umumnya proses nominasi calon di Indonesia terjadi di ruang-ruang tertutup, dengan elite partai berperan sangat dominan dalam menetapkan calon. Namun, khusus pada penentuan calon presiden dan wakil presiden, partai politik tak bisa gegabah memutuskan tanpa mendengar aspirasi kader atau konstituen secara luas. Pilpres adalah pertaruhan besar bagi setiap partai, dan oleh karenanya mereka akan berhati-hati dalam memutuskan siapa yang akan diusung.

Empat pertimbangan    Setidaknya ada empat pertimbangan penting dalam menentukan capres yang akan diusung. Pertama, sejak rezim pemilihan presiden secara langsung dimulai, elektabilitas calon adalah konsideran utama dalam penentuan capres. Menurut Donald Stokes (1963), elektabilitas merujuk pada kekuatan atomik calon (valence) dalam menggaet simpati pemilih, baik itu karisma, popularitas, maupun reputasi bersih dari korupsi. Setiap partai pasti ingin menang. Salah satu ukuran meraih kemenangan ialah memilih capres yang memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan survei yang dilakukan lembaga independen.

Kedua, di samping elektabilitas, pasangan capres-cawapres harus memenuhi syarat teknis pencalonan menurut UU Nomor 7 Tahun 2017. Dengan ditolaknya uji materi terkait dengan syarat minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara menurut hasil Pemilu 2014, praktis paling banyak hanya tiga pasangan yang akan berlaga di 2019. Sejauh ini hanya Joko Widodo (Jokowi) yang relatif aman karena sudah dideklarasikan sebagai capres oleh PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Di luar itu, jika Prabowo maju sebagai capres, Gerindra cukup menggandeng PKS. Sementara itu, poros ketiga yang coba digagas Demokrat akan layu sebelum berkembang jika, misalnya, PKB bergabung dengan poros Jokowi atau PAN malah merapat ke poros Prabowo.

Ketiga, relasi antaraktor utama di balik partai juga menentukan capres dan koalisi mana yang akan dipilih. Contoh paling gamblang ialah sinyal tegas dan terang benderang yang disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapimnas Partai Demokrat yang menyatakan kesiapan untuk berkoalisi mendukung Jokowi di 2019 jika Tuhan menakdirkan.

Meski belum definitif, statement ini tak pernah disampaikan secara terbuka kepada Prabowo, misalnya. Bahkan, dalam banyak kasus, terutama dalam pilkada-pilkada, Partai Demokrat dan Gerindra sering berbeda jalan dalam mengusung calon gubernur. Intinya, publik menangkap bahwa relasi antara SBY dan Jokowi lebih 'intim' ketimbang relasi antara SBY dan Prabowo. Jika SBY gagal mengusung poros baru di 2019, mungkin Demokrat lebih mudah merapat ke Jokowi ketimbang Prabowo, kecuali ada deal-deal khusus.

Terakhir, penentuan capres juga ditentukan kesiapan logistik dan sumber daya. Bagaimanapun pilpres adalah perhelatan raksasa yang membutuhkan ongkos politik yang tak sedikit. Jika seorang yang berniat maju di pilpres tak memiliki dana cukup, ia bisa bergantung pada elektabilitas. Ada gula ada semut. Elektabilitas yang tinggi memungkinkan seseorang menarik donatur untuk menyumbang kampanye dan sosialisasi. Jika seseorang yang berambisi maju di pilpres tak memiliki dana yang cukup, juga tidak ditunjang elektabilitas yang memadai, sebaiknya ia segera mengubur mimpinya dalam-dalam sebelum berubah jadi penyakit.

Gerbong koalisi lebih panjang  Lantas, apakah Jokowi benar-benar telah memenuhi empat kriteria di atas sehingga baru Jokowi yang muncul ke permukaan?  Kekuatan utama Jokowi ialah, sebagai petahana, ia memiliki elektabilitas paling tinggi jika dibandingkan dengan 41 nama capres yang diuji dalam survei. Elektabilitas inilah yang membuat Jokowi, meski bukan elite partai mana pun, diusung sebagai capres oleh PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Jika elektabilitas Jokowi bertahan di papan atas klasemen, atau malah naik, bukan tidak mungkin ia akan menarik gerbong koalisi yang lebih panjang lagi.

Pertanyaan kemudian ialah masih mungkinkah Jokowi dikalahkan? Ibarat gelas setengah penuh atau setengah kosong, jawaban atas pertanyaan sejuta umat ini sangat tergantung cara pandang kita. Pertama, jika dibaca secara optimistis, tren data survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden yang mencapai 72% di kuartal pertama 2018 memang meningkat jika dibandingkan dengan pada September 2017 yang 'hanya' di kisaran 68%.

Akibatnya, seperti dipotret Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitas Jokowi meningkat dalam berbagai simulasi, mulai top of mind (spontan), semiterbuka maupun tertutup, hingga head to head. Memang jika memakai simulasi top of mind, elektabilitas Jokowi masih di bawah 50%. Akan tetapi, jika menggunakan semiterbuka, kedipilihan Jokowi sudah mencapai 53,8%, bahkan 61,4% jika menggunakan simulasi tiga pasangan.

Di simulasi top of mind, elektabilitas Jokowi kurang dari 50% karena masih banyak pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters). Namun, ketika dikerucutkan ke simulasi semiterbuka atau head to head, proporsi undecided voters berkurang karena sebaran pilihan terbagi secara proporsional. Ini pola yang ditemukan di semua lembaga survei yang kredibel. Suara undecided voters bukan bias anti-Jokowi atau hanya mengerucut ke calon-calon di luar Jokowi.

Di atas segalanya, jika dibandingkan dengan approval rating dan elektabilitas SBY di tiga atau empat tahun pemerintahannya di jilid pertama, rating kepuasan terhadap Jokowi dan tingkat kedipilihannya masih lebih baik. Elektabilitas SBY baru benar-benar meroket di akhir 2008 atau awal 2009 beberapa bulan jelang Pemilu Legislatif 2009 ketika bantuan langsung tunai dan efek penurunan harga BBM bersubsidi menaikkan elektabilitas SBY dan Demokrat.

Meski demikian, elektabilitas Jokowi sekarang bisa juga dibaca dengan gelas setengah kosong. Masih ada sebagian pemilih yang puas terhadap kinerja Jokowi tetapi enggan memilihnya. Inilah gejala terbelahnya 'kepala' dan 'hati' sebagian pemilih yang disebut George Orwell sebagai doublethink, yakni 'kemampuan seseorang untuk memercayai dua hal yang bertolak belakang secara bersamaan tanpa merasa bersalah atau tidak nyaman (disonansi kognitif)'. Mereka mengakui kinerja petahana baik, tetapi hati mereka sulit menerima Jokowi. Ini terjadi karena perilaku pemilih bukan semata-mata ditentukan variabel rasionalitas, melainkan juga faktor emosi dan ideologi. Sejauh ini memang Jokowi relatif berhasil mengantisipasi menguatnya politik identitas pasca-pilkada Jakarta dan gejala disonansi kognitif tersebut dengan cara rajin bersilaturahim ke para kiai. Kontranarasi yang dibuat Jokowi juga termasuk membantah tudingan soal PKI, framing anti-Islam dan kriminalisasi ulama yang selalu dialamatkan kepadanya.



Nilai tambah  Namun, tantangan terbesar Jokowi sebenarnya bukan politik identitas, melainkan ancaman kenaikan tingkat inflasi. Data longitudinal Lembaga Survei Indonesia dan Indikator menunjukkan bahwa approval rating presiden siapa pun di Indonesia dan elektabilitasnya sangat ditentukan seberapa sukses ia menjaga rezim inflasi rendah. Jika inflasi tinggi, pada umumnya kinerja ekonomi akan dipersepsi buruk dan akibatnya berpengaruh ke approval rating dan elektabilitas petahana. Jika inflasi bisa ditekan di bawah 4%, kondisi ekonomi nasional akan dipersepsi membaik dan akibatnya menaikkan approval rating petahana.

Setidaknya ada dua tantangan terkait dengan inflasi sebelum nominasi capres pada Agustus 2018. Pertama, gejolak harga minyak dunia yang terjadi sejak 2017 hingga awal 2018. Jika pemerintah menaikkan harga BBM, hampir pasti berpengaruh ke approval rating dan elektabilitas Jokowi. Kedua, siklus inflasi tahunan terkait dengan Ramadan dan Lebaran tahun ini. Jika inflasi terjadi secara tidak terkendali, bukan tidak mungkin sebagian dari lima partai yang sebelumnya mencapreskan Jokowi akan berbalik arah. Terkait hal itu, respons pemerintah, seperti telah diduga, memilih dengan menambah alokasi subsidi BBM ketimbang menaikkan harga BBM bersubsidi. Akibatnya, efek gejolak harga minyak dunia sejauh ini belum berimbas secara elektoral ke petahana.

Intinya, pekerjaan rumah Jokowi sekarang ialah menentukan siapa cawapres paling tepat yang punya nilai tambah secara elektoral dan memiliki akseptabilitas di mata partai-partai pendukung Jokowi. Sementara itu, 'PR' bagi para penantang Jokowi jauh lebih kompleks. Mereka tak hanya dipaksa menghadirkan capres yang kompetitif yang potensial mengalahkan Jokowi, tapi juga harus memenuhi syarat teknis pencalonan yang tinggi.

Hari-hari ke depan publik akan disuguhi manuver-manuver elite kelas tinggi; dari pertarungan memperebutkan tiket cawapres, mendorong koalisi alternatif, hingga tarik-menarik memperebutkan rekomendasi partai untuk mendukung capres-cawapres tertentu. Manuver politik ini sudah pasti menimbulkan kegaduhan, tapi tampaknya terbatas di tingkat elite. Meminjam istilah sastrawan Pramoedya Ananta Toer, intrik dan manuver elite politik yang kerap kita saksikan itu tak lebih dari sekadar 'badai dalam secangkir kopi'.
Pilpres dan Badai dalam Secangkir Kopi oleh : Burhanuddin Muhtadi Pengajar FISIP UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Mediaindonesia.com,12 Maret 2018

January 17, 2018

Netralitas TNI-Polri dalam Pilkada




Netralitas TNI-Polri dalam Pilkada

Oleh : Al Araf[1]   

Dinamika pemilihan kepala daerah pada 2018 diwarnai majunya kandidat kepala daerah berlatar TNI-Polri. Lima jenderal maju di beberapa wilayah, yakni Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Riau. Di tingkat kabupaten dan kota, beberapa kandidat kepala daerah berlatar TNI. Majunya para kandidat berlatar TNI-Polri bukan fenomena baru. Dalam pilkada-pilkada sebelumnya, mereka yang berlatar TNI-Polri ikut berkontestasi. Sebagian berhasil menang.

Pengunduran diri   Di dalam negara demokrasi, semua warga negara memiliki hak yang sama ikut dipilih dalam pemilihan kekuasaan di daerah (pilkada) ataupun pemilihan kekuasaan di pemerintahan pusat (pemilu). Namun, anggota TNI dan Polri aktif yang hendak terlibat dalam politik praktis untuk dapat dipilih dalam pilkada harus mengundurkan diri terlebih dahulu sebagai anggota TNI dan Polri. Secara prinsip, anggota TNI dan anggota Polri memang dilarang berpolitik praktis.

Penegasan larangan itu diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No 2/2002 tentang Polri. Dalam Pasal 39 angka (2) UU TNI disebutkan, prajurit dilarang terlibat kegiatan politik praktis. Dalam UU Polri Pasal 28 Ayat (1) disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Penegasan tentang larangan itu dalam UU Polri dan UU TNI sesungguhnya mensyaratkan kepada para anggota TNI dan anggota Polri untuk tidak melakukan langkah politik, seperti kampanye, sebelum mereka mengundurkan diri. Belakangan ini terdapat kasus calon kepala daerah berlatar TNI ataupun Polri menempuh langkah-langkah atau aktivitas politik sebelum mengundurkan diri.

Jauhlah lebih baik apabila para kandidat sesegera mungkin mengundurkan diri dari keanggotaan TNI dan Polri jika ingin bersaing dalam pilkada. Dengan pengunduran diri itu, mereka akan memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa untuk melakukan langkah-langkah politik.

Meski Pasal 7 huruf t UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menyebutkan bahwa pernyataan tertulis pengunduran diri sebagai anggota TNI/Polri dilakukan setelah ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan, jauh lebih tepat jika langkah pengunduran diri dilakukan sejak dini ketika mereka mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Menurut UU TNI dan UU Polri, anggota TNI dan Polri aktif dilarang berpolitik praktis.

Majunya para kandidat kepala daerah berlatar TNI ataupun Polri tentu perlu dipertimbangkan dan dievaluasi dampaknya terhadap organisasi dan profesionalisme TNI-Polri. Bagi perwira yang sudah melakukan pengabdian lama, apalagi sudah mau memasuki masa pensiun, tentu dampaknya tak akan besar bagi organisasi dan profesionalisme TNI-Polri.

Meski  demikian, jika anggota TNI dan Polri yang maju adalah mereka yang masa pengabdiannya masih baru dan belum lama, serta jenjang kariernya masih panjang, tentu langkah pengunduran diri mereka untuk dapat maju dalam pilkada akan sedikit banyak memengaruhi organisasi dan profesionalisme TNI-Polri.

Secara prinsip, dalam negara demokrasi, tugas dan fungsi utama militer sejatinya adalah dipersiapkan untuk perang. Militer direkrut, dididik, dilatih, dan dipersenjatai dengan fungsi utama menghadapi kemungkinan ancaman militer dari negara lain.  Fungsi utama TNI adalah alat pertahanan negara. Sementara tugas dan fungsi utama Polri adalah menegakkan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melindungi dan mengayomi masyarakat.

Dalam konteks itu, sangat disayangkan jika tugas dan fungsi utama TNI dan Polri yang sangat mulia itu kemudian ditinggalkan para perwira yang masih memiliki karier panjang untuk maju dalam pilkada ataupun pemilu. Apalagi, pendidikan dan pelatihan di TNI dan Polri memiliki masa waktu lama dan berjenjang untuk tercapainya profesionalisme itu. Dengan demikian, sebaiknya mereka lebih berfokus pada pengabdian di TNI ataupun di Polri.

Netralitas TNI-Polri

Sulit dibayangkan pengaruhnya terhadap organisasi dan profesionalisme TNI-Polri apabila nanti banyak anggota TNI-Polri yang masa pengabdiannya belum lama berbondong-bondong maju dalam pilkada dan pemilu—lalu mengundurkan diri. Mereka yang direncanakan menjadi pemimpin di lingkungan TNI dan Polri akhirnya mundur karena ingin maju dalam pilkada. Meski kondisi demikian kecil kemungkinan terjadi, pemimpin TNI dan Polri perlu mengantisipasinya. Dalam konteks itu, perlu ada aturan main internal terkait persoalan ini demi menjaga roda organisasi tetap berjalan dengan baik dan profesional.

Maraknya kandidat dari kalangan TNI dan Polri dalam pilkada tentu tantangan besar bagi TNI dan Polri dalam menjaga netralitasnya. Sikap Panglima TNI dan Kapolri yang menegaskan bahwa anggota TNI dan Polri netral dalam pilkada merupakan langkah baik. Sikap tegas pemimpin kedua institusi itu diharapkan ditaati hingga level paling bawah.

Belajar dari Pilpres 2004, Pilpres 2014, dan Pilkada Kepulauan Riau lalu, kita tahu terdapat oknum anggota yang terlibat dalam kegiatan politik praktis dengan berbagai cara. Mulai dari memberi sarana ataupun fasilitas kepada pasangan calon tertentu hingga mengajak warga memilih salah satu pasangan calon yang kemudian menimbulkan gaduh dan kontroversi.

Dalam negara demokrasi, sudah keharusan bagi aparat TNI dan Polri netral dan profesional menjelang dan pada saat pelaksanaan pilkada. Pemihakan kepada salah satu kandidat atau pemanfaatan situasi politik untuk tujuan lain merupakan bentuk penyimpangan profesionalitas yang harus dihindari. Dalam konteks ini, profesionalisme aparat sangat penting dan dibutuhkan untuk menjamin serta memastikan proses pilkada berjalan aman dan damai. Ini harus diwujudkan dengan independensinya dan berfokus menjamin keamanan sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Keberpihakan aparat terhadap salah satu kandidat tidak hanya bertentangan dengan prinsip fairness dalam pilkada, tetapi juga akan mengancam keamanan pelaksanaan pilkada itu sendiri.

Dalam konteks kini, pemenangan dalam kontestasi politik elektoral perlu dilakukan dengan mekanisme demokratis dan metode politik ilmiah. Instrumen partai politiklah yang seharusnya menjadi topangan memenangi pertarungan kekuasaan di pilkada nanti, bukan berharap kepada dukungan institusi asal mereka, bukan pula dengan operasi intelijen, atau cara lama lain yang nondemokratis. Kalaupun nanti ada perselisihan hasil pilkada, semua pihak harus tetap menggunakan jalur dan mekanisme hukum yang tersedia.



Sumber :  Kompas.id 17 Januari 2018 ; Al Araf Direktur Imparsial



[1] Al Araf Direktur Imparsial