Selisih
Perolehan Suara Tetap Menentukan
Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa ambang batas selisih perolehan suara masih akan
tetap menjadi penentu dalam memutuskan apakah sengketa perselisihan hasil
pemilihan yang diajukan akan dihentikan atau diteruskan. Hal ini dilakukan untuk
menjaga konsistensi putusan perselisihan hasil pemilihan yang sudah dikeluarkan
MK pada pilkada serentak 2015.
Hingga
Senin (27/2) petang, ada 22 permohonan sengketa perselisihan hasil pemilihan
umum (PHPU) yang diterima MK. Secara proporsional, jumlah ini masih jauh lebih
rendah dibandingkan dengan pendaftaran sengketa PHPU pilkada serentak 2015.
Saat itu, lebih dari 100 permohonan diterima MK hingga empat hari setelah
penetapan hasil rekapitulasi suara.
Terkait
dengan jumlah permohonan yang relatif lebih rendah daripada 2015, Ketua MK
Arief Hidayat, di Jakarta, menuturkan, putusan MK pada pilkada serentak 2015
sudah menjadi semacam rekayasa sosial yang mengatur pola perilaku kontestan
dalam pilkada. Sepanjang tidak memenuhi Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Pilkada, mereka merasa tidak lagi perlu mengajukan sengketa ke MK.
“Sebab, pasti tidak memenuhi syarat persentase yang ditentukan Undang-Undang
Pilkada. Kalau tidak terpenuhi, mereka sadar percuma ke MK,” katanya.
Sesuai
Pasal 158 UU Pilkada, peserta pilkada bisa mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan suara ke MK jika memenuhi ambang batas selisih
suara paling banyak 0,5-2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara
tahap akhir yang ditetapkan KPU provinsi atau kabupaten/kota. Besaran
persentase ini diatur UU sesuai dengan jumlah penduduk di daerah itu.
Berdasarkan
data Komisi Pemilihan Umum, hanya ada tujuh daerah yang memenuhi syarat ambang
batas selisih perolehan suara untuk mengajukan sengketa PHPU, yakni Provinsi
Sulawesi Barat, Kabupaten Maybrat (Papua Barat), Bombana (Sulawesi Tenggara),
Takalar (Sulawesi Selatan), Gayo Lues (Aceh), Kota Salatiga (Jawa Tengah), dan
Kota Yogyakarta (DIY).
Meskipun
sudah ada kalkulasi itu, KPU tetap menghormati keputusan kandidat untuk
mengajukan permohonan. Komisioner KPU, Ida Budhiati, menuturkan, karena
permohonan sudah diajukan, MK lebih berkompeten untuk memutus sengketa PHPU.
Menurut dia, jika MK mengacu pada ketentuan syarat formal, seperti ambang batas
selisih perolehan suara, jumlah perkara yang berlanjut pada pemeriksaan
persidangan akan relatif kecil.
“Berapa
pun jumlah perkara yang lanjut pada tahap pemeriksaan persidangan tetap punya
bobot tanggung jawab yang sama besarnya dengan perkara yang ditangani pada
tahap pemeriksaan pendahuluan,” katanya
Namun,
peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, tetap
berharap MK tidak semata-mata menilai permohonan dari sisi pemenuhan syarat
formal. Dia menilai, hal itu bisa bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu.
“Kalau ada persoalan substansial dan punya signifikansi suara, MK semestinya
memeriksa lebih lanjut permohonan itu walau ada selisih suara yang jauh,” kata
Fadli. ( Sumber : Harian Kompas 28 Februari 2017,Gal)
CARI SITUS JUDI ONLINE TERPERCAYA?
ReplyDeleteSPORTIF?GAK ABAL ABAL? HANYA DI LASKARBOLA88 AYO DAFTARKAN ID KALIAN SEKARANG JUGA!! >> https://www.laskarbola88.net/