June 8, 2016

UU Pilkada Mempersulit Jalur Independen DPR Bersebarangan Dengan Kemauan Rakyat

UU Pilkada Mempersulit Jalur Independen DPR Bersebarangan Dengan Kemauan Rakyat

Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam revisi UU Pilkada adalah verifikasi faktual terhadap dukungan calon independen. Mekanisme verifikasi itu membuat dukungan bisa gugur apabila saat dicek, pemberi dukungan tak ada di rumah. "Kalau bunyi undang-undangnya seperti itu, (tampaknya) memang bertekad secara eksplisit untuk menghambat calon independen," ungkap salah satu penggagas Jogja Independent, Busyro Muqqoddas[1] saat diwawancara detikcom, Sabtu malam (4/6/2016).
Menurut Busyro, revisi UU tersebut menjadi kontradiksi dengan UUD 1945. Pasalnya dalam UUD 1945 disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat."Sehingga seharusnya undang-undang melindungi rakyatnya dalam berdemokrasi, termasuk untuk yang ingin maju Pilkada lewat jalur independen," tutur Busyro. Jalur independen, kata Busyro, merupakan alternatif pilihan bagi masyarakat yang tak berminat memilih kader partai politik. Tak bisa dipungkiri, mesin partai politik cenderung menjadi pemicu pejabat publik untuk melakukan tindak pidana korupsi."Jika wali kota, bupati, gubernur, semua hanya petugas parpol, mereka akan menuruti kemauan parpol. Itu yang selama ini memicu tindakan koruptif," ungkap mantan pimpinan KPK tersebut.Maka itu Busyro menggagas kepada semua pihak yang keberatan dengan resvisi UU Pilkada untuk menggugat ke MK. Dia sendiri akan mendiskusikan dengan teman-temannya yang tergabung di Jogja Independent atau JOINT untuk menyusun gugatan ke MK.

Liputan Kompas com[2] juga mengatakan hal yang seirama; Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil khawatir terjadi pemaksaan ketentuan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu. Pasalnya, dalam UU Pilkada hasil revisi, KPU maupun Bawaslu barus berkonsultasi terlebih dulu dengan DPR dan pemerintah ketika menyusun peraturan. "Satu sisi KPU ingin menyusun PKPU sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sementara tak tertutup kemungkinan ada makna atau ketentuan yang ingin dipaksakan oleh DPR dalam PKPU atau (peraturan) Bawaslu," kata Fadli saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/6/2016).
DPR berbeda kemauan dengan Rakyat
Dalam Pasal 9 UU Pilkada, mengharuskan KPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum dengar pendapat ketika menyusun peraturan KPU dan membuat pedoman teknis tahapan pemilihan. Keputusan dalam forum tersebut bersifat mengikat. Adapun Pasal 22B disebutkan, penyusunan dan penetapan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
Fadli khawatir, jika tidak ada kesepakatan dalam forum tersebut, hal itu akan menghambat tahapan Pilkada."Itu akan menghambat tahapan atau pengaturan PKPU tidak sesuai dengan bagaimana KPU menerjemahkan aturan teknis yang ada di dalam pilkada itu," ucap Fadli. Menurut Fadli, revisi UU Pilkada tidak ideal. KPU dan Bawaslu tidak diberikan wewenang membuat peraturan sebagai penyelenggara pemilu.
"Komisi-komisi negara yang lain seperti Komisi Yudisial, KPK, dan lainnya lembaga-lembaga itu kan juga diberi wewenang oleh undang-undang yang mengatur mereka membuat peraturan, tapi tidak ada ketentuan harus melakukan konsultasi," tutur Fadli. KPU sebelumnya mengungkapkan akan mengajukan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. (baca: KPU Akan Ajak Bawaslu Uji Materi UU Pilkada ke MK)
Uji Materi ke MK Sebagai Langkah Positip
KPU akan menguji materi terkait pasal yang dianggap merusak independensi KPU sebagai penyelenggara pemilu. Gugatan akan didaftarkan setelah UU hasil revisi itu diberi nomor oleh pemerintah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) hasil revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
KPU akan menguji materi terkait pasal yang dianggap merusak independensi KPU sebagai penyelenggara pemilu. Gugatan akan didaftarkan setelah UU hasil revisi itu diberi nomor oleh pemerintah. "Potensi judicial review sangat besar. Kami masih menunggu Undang-undang tersebut segera diberi nomer oleh pemerintah baru kami ajukan ke MK," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (6/6/2016).
KPU keberatan atas substansi Pasal 9 yang mengharuskan KPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum dengar pendapat ketika menyusun peraturan KPU dan membuat pedoman teknis tahapan pemilihan. Keputusan dalam forum tersebut bersifat mengikat. "Kami masih bawa ke rapat pleno, keputusan memang belum ada. Tapi potensi untuk judicial review sangat besar, terutama Pasal 9," ujar Hadar.
Saat ditanya apakah KPU akan mengajak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait uji materi tersebut, Hadar mengatakan, pihaknya akan berkomunikasi dengan Bawaslu. Namun, ia mengatakan, jika Bawaslu tidak menghendaki uji materi, maka hal tersebut tidak akan mengurungkan niat KPU untuk menguji pasal tersebut ke MK. "Nanti kami bahas juga, kalau tidak mau juga nggak masalah. Kita kan bisa jalan sendiri-sendiri," kata Hadar.
Selain KPU, UU Pilkada yang baru juga mengatur soal kerja Bawaslu. Dalam Pasal 22B disebutkan, penyusunan dan penetapan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykirufin Hafidz mengatakan, KPU maupun Bawaslu memiliki kedudukan hukum untuk melakukan uji materi ke MK. Menurut dia, peluang KPU dan Bawaslu untuk menang cukup besar. Pasalnya, aturan tersebut bakal memengaruhi kerja kedua lembaga independen tersebut. Masykirufin mengatakan, KPU juga perlu mengajukan uji materi pasal lainnya yang dapat mengganggu penyelenggaraan pemilu.
Contoh lain, aturan verifikasi faktual calon perseorangan yang hanya diberi waktu 14 hari untuk mengadakan sensus dan tiga hari untuk mendatangkan pendukung ke Panitia panitia pemungutan suara (PPS). Hal tersebut juga dinilai merusak independensi KPU sebagai penyelenggara pemilu serta menutup celah demokrasi kepada pasangan calon perseorangan dan pemilih.
"Jangan sampai nyata-nyata telah mendukung lalu dikatakan hangus karena masalah teknis, yang seharusnya bisa diatur dalam PKPU," ujar dia. "Jangan sampai (KPU dan Bawaslu) tidak independen dan hasilnya merugikan pemilih. Ini pasti celah untuk DPR melebarkan kepentingan politisnya," tambah dia.



[1] https://news.detik.com/berita/3225723/busyro-uu-pilkada-bertekad-hambat-calon-independen
[2] http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3231/1/polemik.ruu.pilkada