December 29, 2017

Patroli Cyber Polri Untuk Amankan Pilkada 2018


Patroli Cyber Polri Untuk Amankan Pilkada 2018

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menyatakan akan mengantisipasi kejahatan yang berkembang di media sosial (medsos) seperti hoax, SARA dan provokasi jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018. Pengawasan pun digencarkan serta menghimbau ke masyarakat agar bijak di media sosial.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal M Iqbal menegaskan, polisi telah diberi amanat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menangani kasus kejahatan melalui medsos seperti hoax.

Untuk itu, dengan struktur kelembagaan seperti Biro Multimedia Divisi Humas, Direktorat Siber Bareskrim Polri dan Baintelkam Polri terus menggencarkan pengawasan di media sosial.

"Tiga jabatan ini akan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta melindungi dan mengayomi masyarakat dengan cara preemptive dan preventif," ujar Iqbal

Polri juga akan mendorong KPU untuk bersama-sama membuat nota kesepahaman untuk mengikat para kontestan yang ikut Pilkada untuk menggunakan medsos secara sehat.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Setyo Wasisto menambahkan, berkaca pada fenomena yang terjadi pada Pilkada DKI beberapa waktu lalu, dimana sejumlah pihak menggunakan media sosial sebagai wadah untuk menggiring opini berbau SARA.

Polri pun akan mengantisipasi hal tersebut, patroli cyber pun dilakukan 24 jam setiap hari. Patroli cyber juga dilakukan ditingkatan Polda dan Polres. Ketika mendapatkan hal-hal negatif, maka langsung melakukan profiling untuk mengetahui siapa yang membuat dan menyebarkan konten tersebut.

"Lalu kami akan mengecap HOAX pada konten itu, resmi dari divisi Humas Polri. Kemudian kita sebarluaskan bahwa itu adalah hoax dan tidak perlu disebarluaskan lagi oleh masyarakat," ungkapnya.

Namun, lanjut dia, jika hal tersebut tak juga diindahkan dan penyebar konten sudah tidak bisa dibina lagi, dia pun tak segan-segan untuk menindak tegas sesuai dengan undang-undang yang berlaku. (OL-7)

Sumber : MediaIndonesia.com, Polri Gencarkan Patroli Cyber jelang Pilkada 2018, Kamis, 28 December 2017 19:29 WIB



December 14, 2017

Bawaslu Perlu Lebih Jeli Melihat Kerawanan Pemilu



Bawaslu Perlu Lebih Jeli Melihat Kerawanan Pemilu

Oleh Ramlan Surbakti   

Badan Pengawas Pemilu telah merumuskan Indeks Kerawanan Pilkada/Pemilu. Apakah yang dimaksud dengan kerawanan pemilu? Bawaslu periode 2012-2017 merumuskan kerawanan pemilu sebagai potensi gangguan terhadap setiap tahapan pemilu. Pada tahapan kampanye, misalnya, kabupaten/kota yang memiliki penduduk miskin: lebih dari 30 persen dikategorikan sebagai Sangat Rawan, 10-30 persen dikategorikan sebagai Rawan, dan kurang dari 10 persen dikategorikan sebagai Aman. Gangguan seperti apakah yang akan dilakukan orang miskin terhadap tahapan pemilu? Solidaritas di antara orang miskin amat sangat lemah. Yang mungkin terjadi adalah calon yang kaya tetapi kalah dalam pemilu/pilkada akan menggunakan ”biro jasa” demonstrasi untuk melakukan unjuk kekuatan yang merusak. Orang-orang yang digerakkan biro jasa tersebut belum tentu orang miskin. Kerawanan pemilu versi Bawaslu tidak jelas hendak melaksanakan fungsi Bawaslu yang mana.

Kerawanan atau malapraktik?

Kerawanan pemilu tak berkaitan dengan pengawasan pemilu karena pengawasan terhadap setiap tahapan pemilu berfokus pada penilaian apakah suatu tahapan pemilu dilaksanakan sesuai dengan UU. Kerawanan pemilu juga tak secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum karena hanya menyangkut potensi gangguan terhadap tahapan pemilu dan sama sekali tak merujuk pada jenis pelanggaran. Indeks Pelanggaran Pemilu versi Bawaslu tidak berkaitan secara langsung dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Bawaslu. Indeks kerawanan seperti itu mungkin berguna untuk antisipasi kemungkinan yang akan terjadi.

Namun, Indonesian Parliamentary Centre (IPC) menyebut 14 kerawanan Pemilu 2014, antara lain ketidakpuasan warga masyarakat terhadap daftar pemilih karena banyak yang tak terdaftar, kampanye yang menonjolkan kekuatan, surat undangan pemilih tak sampai pada pemilih terdaftar, jumlah logistik yang kurang, perbedaan persepsi tentang surat suara sah, pemungutan dan penghitungan suara melebihi waktu yang ditentukan dalam UU, serta dugaan tentang penggelembungan suara.

Kerawanan pemilu versi IPC tak membedakan potensi pelanggaran dari potensi irregularities (penyimpangan, tetapi bukan pelanggaran). Surat undangan yang tidak sampai pada pemilih terdaftar jelas merupakan penyimpangan, tetapi bukan merupakan pelanggaran; antrean pemilih yang panjang bukan pelanggaran, tetapi merupakan penyimpangan dari kenyamanan bagi pemilih. Sejumlah potensi pelanggaran, seperti jual-beli suara (antara calon/operator dengan pemilih dan antara calon/operator dengan petugas pemungutan dan penghitungan suara), serta penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang tidak dilaporkan, misalnya, tidak disebut dalam kerawanan pemilu IPC. Singkat kata, kerawanan pemilu versi IPC tidak seluruhnya menyangkut potensi pelanggaran dan tidak menyebutkan potensi pelanggaran secara lebih lengkap.



Yang berkaitan langsung dengan tupoksi Bawaslu adalah tipologi pelanggaran pemilu (typology of electoral malpractice). Tipologi pelanggaran pemilu untuk konteks Indonesia adalah pelanggaran terhadap Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP), pelanggaran terhadap Ketentuan Pidana Pemilu (KPP), dan pelanggaran terhadap Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Akan tetapi, tipologi seperti ini terlalu umum karena tak merujuk pada substansi proses penyelenggaraan pemilu. Dalam UU Pemilu belum ditentukan KAP, sedangkan ketentuan pidana sudah diatur dalam bab tersendiri. KEPP diatur Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bersama dengan KPU dan Bawaslu.

Tipologi pelanggaran pemilu yang merujuk pada substansi proses penyelenggaraan pemilu adalah manipulasi terhadap dasar hukum pemilu, manipulasi terhadap pilihan pemilih, serta manipulasi terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara. Manipulasi tipologi pertama terjadi sebelum pemilu, manipulasi tipologi kedua terjadi di masa kampanye, dan manipulasi tipologi ketiga terjadi pada tahap pemungutan dan penghitungan suara.

Akan tetapi, tipologi ini kurang lengkap karena tak memberi tempat pada berbagai kasus pelanggaran setelah proses pemungutan dan penghitungan suara (pascapemilu). Karena itu, perlu ditambah satu tipe pelanggaran lagi, yaitu pelanggaran yang terjadi setelah pemungutan dan penghitungan suara. Alokasi kursi DPR yang berlebihan (over representation) kepada sejumlah daerah dan alokasi kursi yang kurang (under representation) kepada beberapa daerah (malapportionment), dan pembentukan daerah pemilihan yang hanya menguntungkan partai tertentu (gerrymandering) merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi dasar hukum pemilu. Pelanggaran seperti ini tentu tak bisa ditangani Bawaslu, tetapi dapat dipersoalkan berbagai kalangan lain kepada Mahkamah Konstitusi.

Penggunaan uang dan sembako untuk mendapatkan suara pemilih, isu SARA untuk memengaruhi pilihan pemilih, mencela peserta pemilu lain dalam hal tertentu tetapi tanpa bukti (black campaign), penggunaan anggaran negara/daerah untuk memengaruhi pilihan pemilih (pre-election fiscal manipulation), pemberian dana kepada partai agar ditetapkan sebagai calon (uang mahar), penggunaan intimidasi atau ancaman kekerasan untuk memengaruhi pilihan pemilih, dan pemasangan iklan kampanye di televisi yang didominasi peserta pemilu tertentu merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi pilihan pemilih.

Pengaturan tentang pemberian suara yang tak memperhatikan pemilih berkebutuhan khusus, penggunaan hak pilih lebih dari satu kali, kepala keluarga/kepala suku/kepala banjar mencoblos banyak surat suara atas nama keluarga/suku/banjar, penggunaan hak pilih pemilih lain, mengurangi suara suatu partai dan menambah suara partai lain, penghitungan suara yang tidak transparan, panitia pemilihan dan penyelenggara pemilu yang berpihak kepada peserta pemilu tertentu, serta ruang gerak pemantau pemilu yang dibatasi merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi proses pemungutan dan penghitungan suara.

Peserta pemilu/calon yang kalah mengerahkan massa merusak kantor KPU atau kantor instansi pemerintah sebagai protes, peserta pemilu/calon tak melaporkan seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pemilu, penyumbang dana kampanye yang fiktif, menerima dana dari sumber yang dilarang UU dan tak menyerahkan dana itu ke kas negara, tak melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye merupakan sejumlah contoh pelanggaran setelah pemungutan dan penghitungan suara.

Langkah prioritas

Sejumlah langkah perlu diambil Bawaslu. Pertama, memetakan jenis pelanggaran apa sajakah yang kemungkinan besar terjadi dan di daerah mana. Kedua, menyiapkan mekanisme pelaporan yang memudahkan pemilih, pemantau pemilu, dan peserta pemilu menyusun serta menyampaikan laporan dugaan pelanggaran pemilu. Ketiga, menyiapkan para petugas, baik dalam merespons laporan maupun dalam ”jemput bola” mendekati warga masyarakat. Karena keengganan sebagian pemilih mengirimkan pengaduan, Bawaslu perlu mengambil langkah jemput bola.

Dan akhirnya, semua jenis pelanggaran wajib ditangani oleh Bawaslu. Akan tetapi, Bawaslu perlu menentukan ”prioritas”. Tiga contoh dapat dikemukakan di sini. Penggunaan isu SARA diperkirakan akan banyak digunakan di sejumlah daerah dalam Pilkada 2018. Jual-beli suara antara calon/operator dan pemilih/tokoh masyarakat atau antara calon/operator dan panitia pemilihan diperkirakan akan banyak terjadi pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019. Pemilu di Indonesia sudah bebas, tetapi belum adil karena sebagian calon menggunakan uang dan sembako untuk membeli suara pemilih.

Partisipasi pemilih dalam pemungutan suara (voting turn out) belum maksimal, yaitu 71 persen pada Pemilu 2014, antara lain karena baik UU Pemilu maupun peraturan KPU belum memfasilitasi para pemilih yang memiliki kebutuhan khusus, seperti difabel, pasien, tenaga medis dan dokter di rumah sakit, mahasiswa yang berasal dari luar daerah, pekerja musiman di kota besar, dan pemilih yang harus ke luar kota karena pekerjaan.


RAMLAN SURBAKTI, Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, Surabaya; Sumber : Kerawanan Pemilu, Kompas.id, 13 Desember 2017