Pilkada
Serentak Kembalikan ke Khitah!
Analisis Politik J Kristiadi
Perdebatan menjemukan pemilihan kepala
daerah serentak dewasa ini terjebak hanya di sekitar masalah yang berkaitan
dengan intrik politik, seperti dugaan upaya mengganjal pilkada karena partai
belum siap akibat kepengurusan rangkap; usul agar pilkada ditunda karena
pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum di daerah tidak beres, anggaran yang
belum keluar, dan isu yang paling panas adalah fenomena calon tunggal. Membiarkan
perdebatan terperangkap pada isu periferi akan semakin membuat perpolitikan
nasional masuk dalam pusaran turbulensi politik yang mengacaukan kiblat
politik. Arah perdebatan menjadi pragmatis sensasional, bukan substansi yang
seharusnya menjadi arah penyempurnaan penyelenggaraan pilkada yang
komprehensif.
Oleh
sebab itu, sebaiknya perbincangan harus mengacu kembali kepada khitah atau
garis haluan perjuangan bangsa sehingga pilkada dapat dilakukan secara
langsung.
Pertama, pilkada mewujudkan pemerintahan daerah yang efektif,
melembagakan dan memperdalam demokrasi lokal. Pemilu lokal bukan sekadar
demokrasi ritual yang memuja prosedur politik melegitimasi penguasa, melainkan
bagian dari pendidikan politik rakyat. Publik pun semakin sadar bahwa hak
memilih selalu sejalan dengan kewajiban dan kemampuan mengontrol penguasa
daerah secara terus-menerus.
Kedua,
menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan dekat dengan rakyat. Perlu
diingat, mutu dan harkat kepala daerah adalah komitmennya yang konsisten
terhadap upaya menyejahterakan masyarakat. Pemilu lokal merupakan upaya
pemimpin politik setempat mempertajam daya empati terha- dap kehendak dan
keprihatinan rakyat guna membuat kebijakan yang berpihak kepada kepentingan
publik. Ketiga, aktualisasi representasi kepentingan lokal sehingga kebijakan
di daerah lebih eksplisit berpihak pada interes spesifik rakyat. Keempat,
meningkatkan daya saing kemandirian daerah sesuai keunggulan dan kearifan
wilayah.
Meski
demikian, hal itu tak berarti isu-isu periferi sebagaimana disebutkan di atas
tidak penting, terutama isu calon tunggal yang harus diselesaikan segera.
Repotnya, waktu makin mendesak dan pilihannya terbatas opsi buruk atau kurang
buruk. Misalnya pilihan pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu). Persoalan mendasarnya adalah apakah calon tunggal di
beberapa daerah sudah dapat dianggap negara dalam keadaan darurat atau menghadapi
kegentingan yang memaksa, sebagai prasyarat perppu.
Selain
itu, kemungkinan DPR menolak juga besar. Pilihan lain, calon tunggal
dipertandingkan dengan kotak kosong. Persoalan muncul kalau yang menang kotak
kosong dan kandidat yang kalah menggugat, siapa yang digugat. Jadi, opsi apa
pun yang dipilih untuk mengatasi persoalan dalam pilkada serentak ini harus
dalam perspektif mengembalikan pilkada ke khitahnya.
Sementara itu, sekadar menyalahkan
parpol yang tidak bersedia mengusulkan kandidat agar diberi sanksi juga tidak
memecahkan persoalan. Sudah menjadi rahasia umum kandidat harus
menyediakan ”uang perahu” untuk mendapatkan dukungan parpol. Padahal, besaran
”mahar” politik sudah melewati batas nalar manusia sehat. Bahkan, tidak sedikit
kader parpol yang miris dan cemas terhadap dominasi politik uang dalam pilkada
yang bisa jadi jalan mulus mereka menjadi narapidana. Fenomena peran sentral
kapital dalam proses politik sudah saatnya dihentikan.
Karena
itu, menyelesaikan persoalan pilkada serentak ini harus tunduk pada garis
haluan serta alasan paling mendasar dasar (raison d’etre) dilakukannya pilkada
secara langsung. Khusus tentang mahar politik, sebaiknya gagasan bantuan
keuangan parpol dari APBN, antara lain dikemukakan Mendagri, harus dijadikan salah
satu alternatif. Besarnya bantuan masih dapat diperdebatkan, tetapi jumlah
anggaran yang cukup dan terukur akan membuat parpol lebih tenang sehingga tak
mencari dana sendiri yang kadang, meskipun ilegal, sulit dikontrol. Sudah
saatnya negara memberi parpol insentif.
Namun,
parpol yang menerima uang harus memenuhi tingkat transparansi dan akuntabilitas
yang tinggi, serta sanggup membuat laporan yang lengkap dan rinci. Parpol harus
memberikan kebebasan publik mengakses laporan keuangan parpol. Demikian pula
sanksi yang jelas, tegas, serta keras harus dikenakan kepada mereka yang tega
menyalahgunakan uang rakyat.
Agenda
yang sangat penting lainnya adalah pendidikan politik internal parpol.
Kegagapan parpol dalam memilih kandidat dalam pilkada serentak kali ini
merupakan bukti kuat parpol gagal menyiapkan kader yang berwatak dan siap
bertanding untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Selama ini, kader parpol
hanya diperlakukan sekadar sebagai instrumen politik yang dikendalikan dan
tunduk oleh kehendak ketua umumnya. Parpol kehilangan marwah serta martabat
karena hanya menjadi pemuas nafsu kekuasaan segelintir oligarki di lingkaran
pusat kekuasaan sekitar ketua umum.
Oleh
karena itu, agenda tandem berikutnya adalah demokratisasi internal partai.
Pengalaman menunjukkan, jika tidak menanamkan benih-benih keutamaan yang
memuliakan kesetaraan, parpol dapat dipastikan mengalami pembusukan politik.
Tidak ada negara demokratis tanpa partai yang demokratis. Dengan demikian,
pilkada serentak harus dijadikan pesta rakyat merayakan kedaulatannya untuk
memilih kepala daerah yang ber-akhlakul karimah.
J
Kristiadi Peneliti Senior CSIS ( Sumber
: Kompas 11 Agustus, 2015)
CARI SITUS JUDI ONLINE TERPERCAYA?
ReplyDeleteSPORTIF?GAK ABAL ABAL? HANYA DI LASKARBOLA88 AYO DAFTARKAN ID KALIAN SEKARANG JUGA!! >> https://www.laskarbola88.net/