UU
Pilkada Mempersulit Jalur Independen DPR Bersebarangan Dengan Kemauan Rakyat
Salah
satu poin yang menjadi sorotan dalam revisi UU Pilkada adalah verifikasi
faktual terhadap dukungan calon independen. Mekanisme verifikasi itu membuat
dukungan bisa gugur apabila saat dicek, pemberi dukungan tak ada di rumah. "Kalau
bunyi undang-undangnya seperti itu, (tampaknya) memang bertekad secara
eksplisit untuk menghambat calon independen," ungkap salah satu penggagas
Jogja Independent, Busyro Muqqoddas[1]
saat diwawancara detikcom, Sabtu malam (4/6/2016).
Menurut
Busyro, revisi UU tersebut menjadi kontradiksi dengan UUD 1945. Pasalnya dalam
UUD 1945 disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat."Sehingga
seharusnya undang-undang melindungi rakyatnya dalam berdemokrasi, termasuk
untuk yang ingin maju Pilkada lewat jalur independen," tutur Busyro. Jalur
independen, kata Busyro, merupakan alternatif pilihan bagi masyarakat yang tak
berminat memilih kader partai politik. Tak bisa dipungkiri, mesin partai
politik cenderung menjadi pemicu pejabat publik untuk melakukan tindak pidana
korupsi."Jika wali kota, bupati, gubernur, semua hanya petugas parpol,
mereka akan menuruti kemauan parpol. Itu yang selama ini memicu tindakan
koruptif," ungkap mantan pimpinan KPK tersebut.Maka itu Busyro menggagas
kepada semua pihak yang keberatan dengan resvisi UU Pilkada untuk menggugat ke
MK. Dia sendiri akan mendiskusikan dengan teman-temannya yang tergabung di
Jogja Independent atau JOINT untuk menyusun gugatan ke MK.
Liputan
Kompas com[2]
juga mengatakan hal yang seirama; Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil khawatir terjadi pemaksaan ketentuan
kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu. Pasalnya,
dalam UU Pilkada hasil revisi, KPU maupun Bawaslu barus berkonsultasi terlebih
dulu dengan DPR dan pemerintah ketika menyusun peraturan. "Satu sisi KPU
ingin menyusun PKPU sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sementara tak
tertutup kemungkinan ada makna atau ketentuan yang ingin dipaksakan oleh DPR
dalam PKPU atau (peraturan) Bawaslu," kata Fadli saat dihubungi Kompas.com,
Senin (6/6/2016).
DPR
berbeda kemauan dengan Rakyat
Dalam
Pasal 9 UU Pilkada, mengharuskan KPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah
dalam forum dengar pendapat ketika menyusun peraturan KPU dan membuat pedoman
teknis tahapan pemilihan. Keputusan dalam forum tersebut bersifat mengikat. Adapun
Pasal 22B disebutkan, penyusunan dan penetapan Peraturan Bawaslu dan pedoman
teknis pengawasan untuk setiap tahapan pemilihan serta pedoman tata cara
pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah
berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang
keputusannya bersifat mengikat.
Fadli
khawatir, jika tidak ada kesepakatan dalam forum tersebut, hal itu akan menghambat
tahapan Pilkada."Itu akan menghambat tahapan atau pengaturan PKPU tidak
sesuai dengan bagaimana KPU menerjemahkan aturan teknis yang ada di dalam
pilkada itu," ucap Fadli. Menurut Fadli, revisi UU Pilkada tidak ideal.
KPU dan Bawaslu tidak diberikan wewenang membuat peraturan sebagai
penyelenggara pemilu.
"Komisi-komisi
negara yang lain seperti Komisi Yudisial, KPK, dan lainnya lembaga-lembaga itu
kan juga diberi wewenang oleh undang-undang yang mengatur mereka membuat
peraturan, tapi tidak ada ketentuan harus melakukan konsultasi," tutur
Fadli. KPU sebelumnya mengungkapkan akan mengajukan uji materi UU Pilkada ke
Mahkamah Konstitusi. (baca: KPU Akan Ajak Bawaslu Uji Materi UU Pilkada ke MK)
Uji
Materi ke MK Sebagai Langkah Positip
KPU
akan menguji materi terkait pasal yang dianggap merusak independensi KPU
sebagai penyelenggara pemilu. Gugatan akan didaftarkan setelah UU hasil revisi
itu diberi nomor oleh pemerintah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengajukan
uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) hasil revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pilkada.
KPU
akan menguji materi terkait pasal yang dianggap merusak independensi KPU
sebagai penyelenggara pemilu. Gugatan akan didaftarkan setelah UU hasil revisi
itu diberi nomor oleh pemerintah. "Potensi judicial review sangat besar.
Kami masih menunggu Undang-undang tersebut segera diberi nomer oleh pemerintah
baru kami ajukan ke MK," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di Gedung
KPU, Jakarta, Selasa (6/6/2016).
KPU
keberatan atas substansi Pasal 9 yang mengharuskan KPU berkonsultasi dengan DPR
dan pemerintah dalam forum dengar pendapat ketika menyusun peraturan KPU dan
membuat pedoman teknis tahapan pemilihan. Keputusan dalam forum tersebut
bersifat mengikat. "Kami masih bawa ke rapat pleno, keputusan memang belum
ada. Tapi potensi untuk judicial review sangat besar, terutama Pasal 9,"
ujar Hadar.
Saat
ditanya apakah KPU akan mengajak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait uji
materi tersebut, Hadar mengatakan, pihaknya akan berkomunikasi dengan Bawaslu. Namun,
ia mengatakan, jika Bawaslu tidak menghendaki uji materi, maka hal tersebut
tidak akan mengurungkan niat KPU untuk menguji pasal tersebut ke MK. "Nanti
kami bahas juga, kalau tidak mau juga nggak masalah. Kita kan bisa jalan
sendiri-sendiri," kata Hadar.
Selain
KPU, UU Pilkada yang baru juga mengatur soal kerja Bawaslu. Dalam Pasal 22B
disebutkan, penyusunan dan penetapan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis
pengawasan untuk setiap tahapan pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan,
pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan
DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat
mengikat.
Sementara
itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Masykirufin Hafidz mengatakan, KPU maupun Bawaslu memiliki kedudukan hukum untuk
melakukan uji materi ke MK. Menurut dia, peluang KPU dan Bawaslu untuk menang
cukup besar. Pasalnya, aturan tersebut bakal memengaruhi kerja kedua lembaga
independen tersebut. Masykirufin mengatakan, KPU juga perlu mengajukan uji
materi pasal lainnya yang dapat mengganggu penyelenggaraan pemilu.
Contoh
lain, aturan verifikasi faktual calon perseorangan yang hanya diberi waktu 14
hari untuk mengadakan sensus dan tiga hari untuk mendatangkan pendukung ke
Panitia panitia pemungutan suara (PPS). Hal tersebut juga dinilai merusak
independensi KPU sebagai penyelenggara pemilu serta menutup celah demokrasi
kepada pasangan calon perseorangan dan pemilih.
"Jangan
sampai nyata-nyata telah mendukung lalu dikatakan hangus karena masalah teknis,
yang seharusnya bisa diatur dalam PKPU," ujar dia. "Jangan sampai
(KPU dan Bawaslu) tidak independen dan hasilnya merugikan pemilih. Ini pasti
celah untuk DPR melebarkan kepentingan politisnya," tambah dia.
No comments:
Post a Comment