Oleh Hanta Yuda AR
KOMPETISI
politik elektoral 2019 diperkirakan akan didominasi generasi milenial. Berdasarkan
proporsi usia pemilih, Pemilu 2019 akan diikuti oleh sekitar 40% pemilih usia
17-35 tahun. Itu artinya generasi milenial akan turut mewarnai peta dukungan
politik 2019, bahkan akan menentukan siapa calon presiden Indonesia mendatang.Karakter
mendasar yang membedakan generasi X (36 tahun-55 tahun) maupun generasi baby
boomers (55 tahun ke atas) dengan generasi milenial (17 tahun-35 tahun) adalah
melek informasi dan terkoneksi (connected) melalui jejaring media sosial
digital, yang terhubung melalui internet. Media sosial yang kini menjadi salah
satu 'mesin politik' efektif untuk melakukan propaganda politik maupun
penetrasi isu adalah dunia yang sangat akrab dengan generasi milenial.
Di
titik inilah, karena typical mereka sebagai generasi digital native, yang
sangat melek informasi dan kerap bercengkrama dengan smartphone dan media
sosial, menjadikan generasi milenial sejatinya tidak hanya strategis secara
kuantitas, tetapi juga amat penting sebagai salah satu 'mesin' propaganda isue
politik dalam memobilisasi dukungan suara elektoral.
Eksposure
dan aktivitas digital generasi ini sangat berpengaruh pada sirkulasi isu-isu
menjelang pemilu. Apalagi, konten digital sangat berpengaruh pada generasi
pemilih matang yang lebih banyak menerima dibandingkan memverifikasi atau
memproduksi konten sebagaimana yang dilakukan oleh generasi milenial. Meskipun
secara konseptual pemilih milenial merujuk pada generasi Y (21 tahun-35 tahun),
penggunaan pemilih milenial yang juga mencakup generasi Z (17 tahun-20 tahun)
akan lebih memudahkan kita dalam pembacaan pemilih muda dan pemilih matang
(lebih dari 35 tahun).
Lalu pertanyaannya,
ke mana arah preferensi politik para pemilih milenial ini?
Paling
tidak ada tiga poin penting untuk membaca arah dan preferensi politik pemilih
milenial; 1. potensi partisipasi politik dan kemantapan pilihan, 2.
sensitifitas pada isu sosial/kebijakan, 3. dan tentunya adalah soal preferensi
terhadap kandidat dan pilihan politiknya dalam pemilu, baik karakter kandidat
yang disukai maupun dukungan personal terhadap kandidat.
Pemilih
galau
Berdasarkan
data survei Poltracking Indonesia pada Februari 2018, potensi partisipasi
pemilih milenial pada pemilu 2019 pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan
generasi pemilih matang (36 tahun ke atas). Potensi partisipasi (responden yang
menjawab akan menggunakan suaranya pada pemilu 2019) kedua kelompok ini berada
pada angka 76%-77%.
Namun
demikian, hal yang menarik adalah ketetapan pilihan generasi milenial terhadap
pilihan partai dan kandidat capres lebih rendah dibandingkan generasi matang.
Ada sekitar 60% pemilih milenial yang tidak punya ketetapan pilihan politik
dibandingkan pemilih matang yang separuhnya (50%) sudah matang dengan pilihan
politiknya. Singkatnya, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Poltracking,
preferensi pilihan figur capres oleh milenial belumlah solid apalagi dikotomis
sebagaimana produk politik pemilu 2014.
Pemilih
milenial akan mencari tahu dan meverifikasi kandidat secara mandiri tidak
bergantung pada sosialisasi politik di dalam keluarga. Hal ini ditunjukkan oleh
rendahnya partisan identification atau Party ID kelompok pemilih ini, sekitar
17,5%. Party ID adalah produk dari pendekatan psikologis yang dibangun oleh
Campbell et al (1960) di Universitas Chicago lebih dari setengah abad yang
lalu.
Tesisnya
adalah bahwa sosialisasi politik di dalam keluarga ketika masa kecil dan remaja
akan menciptakan perilaku politik berdasarkan preferensi partai di dalam
keluarganya. Akhirnya, asosiasi pemilih terhadap partai dilihat sebagaimana
asosiasi pemilih terhadap agama atau identitas rasional mereka. Artinya, Party ID
yang rendah tersebut menjelaskan bahwa siapapun figur yang diusung oleh partai
yang mereka pilih atau yang ada di dalam keluarga, tidak terlalu berpengaruh
pada pilihan capresnya.
Hal
menarik lain dari potensi keterlibatan generasi milenial dalam pilpres
mendatang, adalah generasi ini menyatakan masih mungkin berubah dalam
menentukan/memilih siapa kandidatnya (63%). Karena itu, pemilih milenial
terbilang pemilih kritis yang masih 'galau'. Meskipun hal itu masih dapat
dipahami bahwa hingga saat ini belum ada kandidat yang secara solid menarik bagi
generasi milenial. Mereka masih wait and see siapa-siapa kandidat yang mampu
memberi ekspektasi besar bagi masa depan kaum milenial.
Namun,
kabar baiknya, generasi milenial merespons positif Pilpres 2019 mendatang
dengan cukup tigginya potensi partisipasi dari segmentasi pemilih ini. Data
terbaru survei Poltracking Indonesia misalnya menunjukkan bahwa 78,4% generasi
milenial menyatakan akan menyoblos pada pilpres mendatang. Ini adalah kabar
baik bagi demokrasi di Indonesia sekaligus menunjukkan bahwa arus deras
informasi membuat generasi milenial Indonesia tidak alergi dengan politik.
Pemilih
rasional-sosiologis
Preferensi
pemilih milenial terhadap latar belakang kandidat presiden, berdasarkan data
survei Poltracking Indonesia Februari 2018, yang cukup menarik sekaligus
mengejutkan adalah preferensi sosiologis sedikit lebih banyak diletakkan pada
agama yang dianut kandidat (27%) dibandingkan kinerja kandidat (17%), dan
delapan faktor-faktor latar belakang kandidat lainnya yang berada di bawah 10%.
Namun
demikian, jika 10 faktor latar belakang figur capres kita simplifikasi ke dalam
tiga klasifikasi yaitu faktor rasional (kinerja rekam jejak, kompetensi, dan
visi), faktor sosiologis (latar agama, etnis, dan asal daerah), serta faktor
psikologis kandidat (usia, gender, dan karakter personalnya), maka pemilih
milenial cenderung rasional (39%) dibandingkan sosioligis (30%).
Berdasarkan
data ini, harus diakui bahwa program kebijakan yang sudah dilakukan oleh
kandidat petahana ataupun program yang ditawarkan oleh kandidat capres
penantang, akan mempunyai efek tidak jauh berbeda dengan isu-isu yang berkaitan
dengan identitas sosial pemilih milenial, baik agama, etnis, dan kelompok
kedaerahan yang menjadi basis identitas pemilih termasuk kelompok milenial.
Tentu
ekspektasi kita adalah sejauh mana para kandidat capres dan winning team-nya
mampu mengeksplorasi dan mengoreksi program kebijakan dibandingkan
mengeksploitasi isu sosiologis dan identitas.Atribusi variabel-variable
sosiologis memang tidak bisa dilepaskan dari kandidat capres. Namun demikian,
kemenangan Jokowi atas Prabowo pada 2014 pada dasarnya menunjukkan bahwa
bagaimanapun juga rasionalitas pemilih yang diletakkan pada evaluasi kinerja
dan performance kandidat, lebih banyak dihitung oleh pemilih dibandingkan
sentimen yang 'dibangun' atas identitas.
Terlepas
dari argumen psikologis ini, skema penyerentakan pemilu antara kursi presiden
dan kursi legislatif bisa jadi akan menghasilkan output elektoral yang sama
sekali berbeda dengan 2014. Kelompok pemilih milenial juga boleh jadi sangat
kuat menerima efek coattail dari skema pemilu serentak tersebut.Artinya, meski
kedekatan kelompok pemilih ini dengan partai terbilang rendah, angka straight
ticket voting (linieritas antara pilihan capres dan kandidat-kandidat partai di
semua level) bisa jadi akan tinggi.
Preferensi capres
Dari
sisi preferensi terhadap karakter atau sifat kandidat yang disukai, data survei
Poltracking menunjukkan bahwa pemilih generasi milenial menginginkan kandidat
dengan karakteristik merakyat (35%), dan jujur/berintegritas (11,8%).Fenomena
ini menunjukkan bahwa generasi milenial menyukai kandidat yang menyatu dan tak
berjarak dengan 'gaya hidup' mereka (merakyat).Selain itu, juga menyukai
karakter jujur, boleh jadi efek bias dari banyaknya informasi media terkait
kasus-kasus korupsi akhir-akhir ini.
Secara
lebih spesifik, pemilih pada kelompok usia ini juga mempunyai preferensi figur
capres yang 'mengkombinasikan' personalitas Jokowi dan Prabowo, yaitu merakyat
(26%) dan tegas (13%).Lebih dari 10 variable karakteristik figur capres lainnya
yang diajukan dalam pertanyaan hanya dipilih kurang dari 10% kelompok pemilih
milenial. Hal inilah yang menjelaskan kelompok pemilih milenial tidak terlalu
solid (di bawah 50%) dalam mendukung petahana Jokowi sebagai capres,
dibandingkan pemilih matang yang cenderung lebih solid di atas 50%.
Namun
demikian, preferensi pada figur yang merakyat dan tegas pada dasarnya bukanlah
hal yang unik dalam perilaku memilih.Preferensi ini cukup menjelaskan teori
valensi dalam psikologi pemilih, di mana pemilih akan memilih kandidat yang
dianggap mampu menyediakan kebutuhan-kebutuhan umum atau dasar seperti lapangan
kerja, pendidikan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Hal ini juga
terkonfirmasi dalam survei Poltracking.
Hal
penting yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana pemilih milenial
mengeksplorasi diri dan memperlakukan konten di dalam platform digital terutama
media sosial yang merupakan 'dunia nyata' mereka.Kondisi itu tentu menjadi
peluang sekaligus tantangan bagi setiap parpol dan kandidat presiden. Mereka
harus segera melakukan inovasi dan lebih berkonsentrasi membangun panggung
kontestasi yang sehat, di dalam dunia digital demi mendulang suara pemilih
milenial.
Sumber
: Media Indonesia 23 April,2018 - Hanta Yuda AR Direktur Eksekutif Poltracking
Indonesia