July 28, 2015

Menangkan Pilkada, Pertarungan Pilkada Mulai Bergulir




Menangkan Pilkada,  Pertarungan Pilkada Mulai Bergulir

Pertarungan memperebutkan kursi kepala pemerintahan daerah di Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan dimulai Senin (27/7). Di setiap daerah tersebut, dua pasangan kepala daerah sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum setempat. Para pendukung menunggu pendaftaran bakal calon wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan periode 2016-2021 di kantor Komisi Pemilihan Umum Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (27/7). Pendaftaran akan dibuka hingga Selasa (28/7).
http://nulisbuku.com/books/view_book/7216/strategi-sun-tzu-menangkan-pilkada

Dua pasangan bakal calon wali kota Depok dan wakilnya, Dimas Oky Nugroho-Babai Suhaimi dan Idris Abdul Shomad-Pradi Supriyatna, mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Kota Depok, kemarin. Pasangan Dimas-Babai diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang didukung sejumlah partai politik (parpol). Sementara pasangan Idris-Pradi diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra. Sebelum mendaftar ke KPU, PDI-P menggelar deklarasi pencalonan pasangan Dimas dan Babai di kompleks perkantoran Graha Depok Mas. Seusai deklarasi, mereka berkonvoi menuju kantor KPU Kota Depok menggunakan tiga delman dan sejumlah becak sekitar pukul 13.00.

Partai-partai yang ikut mendukung pasangan Dimas-Babai itu adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, dan Partai Nasdem. Sebelumnya, PAN, PKB, PPP, Partai Demokrat, dan Partai Nasdem membuat Koalisi Depok Bersatu (KDB) dengan Ketua DPD PAN Kota Depok Hasbullah Rahmad sebagai bakal calon. Namun, sampai Minggu (26/7) malam, KDB belum menemukan paket pasangan yang tepat, terutama dengan pertimbangan elektabilitas figur. "Senin ini ada surat keputusan DPP PAN yang meminta kami bergabung dengan PDI-P. Sebagai kader partai, kami terima," kata Hasbullah.

Maka, empat partai dari KDB pun merapat ke kubu PDI-P. Kini, tinggal Partai Demokrat dan Partai Hanura yang belum menentukan pilihan. Dimas merupakan mantan Direktur Eksekutif Akar Rumput Strategic Consulting, sementara Babai merupakan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar Kota Depok. Sekitar pukul 15.00, giliran pasangan Idris Abdul Shomad dan Pradi Supriyatna yang mendaftar di KPU Kota Depok. Idris saat ini masih menjabat sebagai Wakil Wali Kota Depok, sementara Pradi adalah Ketua Dewan Pengurus Cabang Partai Gerindra Kota Depok.

"Kami tidak khawatir jika nanti head to head' (dengan pasangan Dimas-Babai) karena dukungan kepada kami besar," kata Pradi.

Ketua DPD PKS Depok M Suparyono mengatakan, pihaknya sudah memiliki pengalaman melawan banyak partai lain, seperti pada periode 2004 dan 2010. "Saat ini yang terpenting adalah figur calon," katanya. Menurut Suparyono, pihaknya masih terus berkomunikasi dengan Partai Demokrat dan Partai Hanura. Wali Kota Depok saat ini, Nur Mahmudi Ismail, berasal dari PKS dan telah menjabat dua periode.

Maju lagi  Di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), dua dari tiga pasangan bakal calon wali kota dan wakilnya telah mendaftar ke KPU setempat, kemarin. Pasangan petahana, Wali Kota Airin Rachmi Diany dan Wakil Wali Kota Benyamin Davnie, kembali maju untuk memperjuangkan periode kedua pemerintahan mereka. Airin mengatakan, dirinya dan Benyamin diusung dan didukung koalisi Partai Golkar, Partai Nasdem, PKS, PAN, PKB, PKPI, dan PPP.

Pasangan kedua yang mendaftar ke KPU Kota Tangsel adalah Ikhsan Modjo-Li Claudia Chandra yang diusung Partai Demokrat dan Partai Gerindra. Ikhsan adalah ekonom dan Direktur Eksekutif Financial Reform Institute yang juga politisi Partai Demokrat. Sementara Claudia adalah pengusaha di Tangsel. Sebelum mendatangi KPU, pasangan Airin-Benyamin mendeklarasikan diri mereka di Universitas Terbuka Convention Center (UTCC), Pondok Cabe. Pasangan Airin-Benyamin mendaftar lebih dulu di KPU.

Airin, yang suaminya masih menjalani hukuman dalam kasus korupsi, yakin pihaknya bisa melanjutkan program pembangunan Tangsel yang sudah ia lakukan selama lebih dari empat tahun terakhir. "Masyarakat Tangsel mengetahui perubahan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan 2010," kata Airin. Sementara pasangan Ikhsan-Claudia mendeklarasikan pencalonan mereka di Restoran Kampoeng Anggrek, Serpong.

Pasangan ini berjanji, jika mereka memimpin Tangsel dan ada keluarga atau mereka sendiri ikut bermain proyek di lingkungan Pemerintah Kota Tangsel, mereka akan mengundurkan diri. "Ini bukti kami bukan mau mengeruk uang rakyat," ujar Ikhsan. Wakil Sekjen Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsudin, dalam deklarasi Ikhsan-Claudia, menegaskan, Tangerang Selatan hanya bisa dibangun oleh kader-kader terbaik yang bersih dan tak memiliki beban sejarah ataupun tersandera kekuatan-kekuatan politis.

Ikhsan menambahkan, ia dan pasangannya tak mau terjebak dengan janji-janji kesejahteraan, tetapi lebih pada bagaimana menjadikan rakyat bermartabat dan mendapatkan haknya dengan baik dan nyaman serta diperlakukan secara adil. "Selama ini banyak potensi yang terabaikan di Tangsel karena tergerus kekuatan kepentingan kekerabatan," ujarnya. Claudia menambahkan, korupsi harus menjadi musuh bersama. "Tak bisa pembangunan infrastruktur Tangsel dibiarkan terus terbengkalai akibat tindakan korupsi," katanya.

Proses pendaftaran bakal calon kepala daerah masih akan berlangsung hingga Selasa (28/7) ini. Masih terbuka peluang ada pasangan bakal calon baru yang akan mendaftar, baik di Depok maupun Tangsel. Di Tangsel, pasangan ketiga yang diusung PDI-P dan Partai Hanura dijadwalkan akan mendaftar di KPU Tangsel, Selasa pagi ini. Sekretaris DPC PDI-P Tangsel Bambang Triyadi mengatakan, pihaknya mengusung pasangan H Arsid-Intan Nurul Hikmah. "Sampai malam ini tidak ada perubahan. Pasangan Arsid-Intan tetap maju dalam Pilkada Tangsel," ungkap Bambang. Arsid pernah maju dalam Pilkada Tangsel 2010, tetapi kalah dari pasangan Airin-Benyamin. Sementara Intan adalah politisi Partai Golkar yang juga adik dari Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar. (DEN/PIN/OSA/Kompas 28 juli 2015)

July 27, 2015

Sukses Pilkada, Kepala Daerah di NKRI



Kepala Daerah di NKRI
Oleh Miftah Thoha

Sebentar lagi, bulan Desember 2015, akan dilaksanakan tahap pertama pemilihan kepala daerah serentak di Indonesia.  Sekarang ini pemerintah telah menetapkan  dua macam pemilihan umum. Pertama, pemilihan umum nasional memilih presiden kepala negara badan pemerintahan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beserta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua, pemilihan umum daerah (local election day) yang memilih kepala daerah baik gubernur maupun bupati/wali kota, dan mestinya juga memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Undang-Undang Pemerintahan Daerah mulai dari UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004, dan UU No 23 Tahun 2014 menyebutkan, kepala daerah itu diajukan sebagai calon oleh partai politik atau gabungan dari partai politik dan yang memahami kondisi daerahnya, artinya calon harus minimal berasal dari daerah tersebut dan dari parpol.

http://nulisbuku.com/books/view_book/7216/strategi-sun-tzu-menangkan-pilkada

Adakalanya juga yang mewakili dirinya sendiri atau dari golongan independen. Jadi kita nanti akan memilih calon-calon dari partai politik dan orang daerah. Calon harus dari orang daerah supaya memahami betul kondisi dan adat istiadat daerah. Sementara itu, negara kita ini adalah negara kesatuan yang kepentingan nasional dan pemahaman kondisi dan masalah-masalah nasionalnya tidak bisa diabaikan oleh syarat calon.
Namun, dalam UU Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa wakil pemerintah pusat yang melaksanakan kepentingan pemerintah pusat hanya jabatan gubernur dan kepala kanwil yang mewakili kewenangan absolut pemerintah pusat, sedangkan bupati dan wali kota yang akan dipilih nanti tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai wakil pemerintah pusat di negara yang mengikuti sistem negara kesatuan (unitary system) seperti negara kita.
Kepentingan pemerintah pusat itu sebenarnya membentang berlakunya, mulai dari tata pemerintahan pusat sampai ke tingkat pemerintah daerah, termasuk pada tingkat yang berada di amat terbawah sekalipun. Jadi, tidak bisa hanya dipenggal pada jabatan tertentu seperti disebutkan dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut. Dengan demikian, kepala daerah yang akan dipilih serentak itu mewakili orang daerah yang dari partai politik. Apalagi titik berat pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten/kota semakin jelas jauhnya jarak antara pemerintah pusat/nasional dan pemerintah daerah.

Kepentingan altruistik nasional
Perkembangan pelaksanaan sistem desentralisasi ke pemerintahan daerah di negara kesatuan seperti di negara kita mengalami   perubahan yang dinamis. Akan tetapi, nilai altruistik kepentingan nasional di negara kesatuan itu tidak bisa terpotong sekecil apa pun dalam bentangan wilayah nasional itu.
Kepentingan altruistik nasional adalah kepentingan pemerintah nasional yang bisamembentuk jiwa nasionalisme dan jiwa kebangsaan, yang tidak dipersempit oleh semangat sektaristik kedaerahan.  Dahulu di awal kita merdeka ketika akan menjabarkan pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, akan dibagi ke dalam berapa macam pemerintah daerah belum ada aturan perundangannya.
Waktu itu terpikirlah  jenis pemerintahan yang harus terbentuk lebih dahulu adalah pemerintahan provinsi. Presiden Soekarno sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk panitia kecil yang diketuai Otto Iskandardinata . Ketika Ketua PPKI mempersilakan Otto memberikan laporan kerja tim kecilnya pada 19 Agustus 1945, dilaporkan  bahwa Pulau Jawa ada tiga provinsi-Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat-masing-masing dipimpin seorang gubernur atau mangkubumi. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lain dipimpin satu gubernur.
Tokoh yang ditunjuk sebagai gubernur adalah tokoh daerah yang nasionalis. Orang yang mengetahui dan memahami kondisi daerahnya akan tetapi memahami  dan jiwanya adalah jiwa republiken dari negara kesatuan, bukan yang menonjolkan kepentingan kedaerahannya. Tokoh-tokoh seperti Dr Sam Ratulangi (seorang nasionalis dari Sulawesi Utara), serta Mr J Latuharhary dan Mr Teuku Moh Hasan (republiken dari Maluku dan Sumatera Utara) merupakan tokoh daerah yang jiwa altruistik nasionalnya melampaui semangat kedaerahannya.
Demikian pula ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa berlaku semboyan yang dikembangkan bahwa pusat adalah pusatnya daerah, dan daerah adalah daerahnya pusat. Dengan demikian, negara kesatuan itu utuh tidak terbelah-belah antara pusat dan daerah. Tidak seperti sekarang ini sehingga tampaknya hubungan antara gubernur dan bupati/wali kota di daerahnya kurang harmonis. Itulah sebabnya, ada salah satu gubernur dalam karya ilmiahnya menyarankan titik berat otonomi diletakkan di provinsi. Sekarang ini banyak dijumpai kartu nama bupati/wali kota tidak lagi mencantumkan nama provinsinya. Hal seperti ini merupakan gejala apa? Apa karena bunyi undang-undangnya atau karena paham demokrasi yang mengalami perkembangan?

Negara kesatuan
Di dalam literatur ilmu pemerintahan dikatakan bahwa kekuasaan mengatur pemerintahan itu terbagi atas vertikal dan horizontal. Pembagian secara vertikal melahirkan sistem pemerintahan yang federalistik dan unitaristik. Adapun yang horizontal melahirkan sistem pemerintahan yang dipimpin presiden (presidensial) dan sistem pemerintahan yang dikendalikan parlemen (parlementer). Indonesia semenjak awal merdeka mengikuti sistem negara kesatuan yang pemerintahannya dijalankan berdasarkan sistem presidensial. Hanya pernah di tengah-tengah sistem presidensial itu berlaku pula sistem perlementer dengan banyaknya partai politik yang dibentuk di awal kemerdekaan.
 Di negara kesatuan prinsip manajemen kekuasaan pemerintahan itu penggunaannya berada di tangan pemerintah pusat. Adapun kekuasaan di pemerintah daerah dilakukan melalui asas desentralisasi dari pemerintah pusat.

Sistem desentralisasi itu tidak memberikan seluruh kewenangan pemerintah itu kepada pemerintah daerah, melainkan memberikan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Bukan seperti undang-undang tentang pemerintahan daerah yang menyatakan bahwa seluruh kewenangan pemerintahan berada di daerah, kecuali enam kewenangan absolut yang di pemerintah pusat.
Adapun cara mendelegasikan kewenangan itu berdasarkan prinsip the pleasure of central government,tergantung pada kemurahan hati pemerintah pusat. Dari sistem ini, maka di negara kesatuan adakalanya berlaku sentralisasi (pemerintahan Orde Baru) dan ada pula yang luas desentralisasinya (seperti sekarang ini). Prinsip otonomi sebenarnya bukan melekat pada sistem negara kesatuan, melainkan amat sesuai digunakan oleh pemerintah federalistik karena negara-negara yang otonom (states) sepakat melimpahkan kewenangannya yang pelaksanaannya lebih baik dilaksanakan oleh pemerintah federal yang dibentuknya.
Negara kita menggunakan otonomi semula untuk  membedakan antara pemerintah daerah yang bersifat administratif dan yang otonom. Adapun pemerintah daerah otonom itu adalah pemerintah daerah yang mampu membuat sendiri peraturan daerahnya, mampu membiayai sendiri dengan anggaran daerahnya, dan yang dilaksanakan oleh pegawai daerah sendiri. Membuat sendiri peraturan daerah mengharuskan pemerintah daerah otonom harus ada lembaga DPRD, dan mempunyai APBD sendiri beserta pegawai daerah sendiri (lihat UU No 5 Tahun 1974).
Semenjak reformasi pemerintahan daerah yang otonom ditegaskan untuk memberikan diskresi kepada daerah untuk mengatasi masalah-masalah daerahnya sehingga mampu melahirkan suatu tata pemerintahan daerah yang bisa menyejahterakan rakyat daerahnya, bukannya menyejahterakan pimpinan daerahnya.
Demikian pula di negara kesatuan tidak diperlukan pemikiran tentang titik berat otonomi daerah, apakah di pemerintah daerah kabupaten/kota atau di pemerintah provinsi. Karena prinsipnya di negara kesatuan kepentingan pemerintah pusat diwujudkan membentang di seluruh jajaran atau tingkatan pemerintahan dari pusat sampai pada tingkat terbawah.
Ibarat wayang kulit, batang tubuh wayang kulit yang lemas itu tidak bisa dijalankan oleh dalang jika wayang itu tidak digapit oleh kayu penjalin kecil yang kuat membujur dari kepala (puncak) sampai di bawah sehingga bisa ditancapkan pada batang pisang oleh si dalang. Tidak ada wayang kulit yang kayu penggapitnya itu lemas, apalagi hanya sampai di tengah-tengah tubuh wayang.
Bukan seperti UU Pemerintahan Daerah kita, kayu penggapit wayang otonomi itu sebenarnya mewakili kepentingan pemerintah pusat  hanya sampai ke gubernur di tengah-tengah tubuh wayang otonomi, tidak sampai pada tataran jenjang pemerintah daerah terbawah di kabupaten dan pemerintah kota. Dalang otonomi merasakan betapa sulitnya menganalisis pelaksanaan otonomi daerah
Kepala daerah di negara kesatuan
Di bulan Desember tahun ini kita akan memilih kepala-kepala daerah yang pencalonannya seperti diutarakan di muka diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau independen yang ciri daerahnya sangat diutamakan. Bahkan mulai sekarang ini sudah mulai banyak orang yang berburu KTP supaya bisa menjadi orang daerah yang akan menjadi calon kepala daerahnya. Jika syarat ini yang diutamakan, maka kepala-kepala daerah itu nantinya cenderung akan memperkuat putusnya kayu penjalin seperti yang diuraikan di atas.

Kepala daerah di negara kesatuan yang akan mewakili kepentingan sektarian partai politik dan kedaerahannya ketimbang kepentingan altruistik nasionalisme. Oleh karena itu, persyaratannya harus ditambah dengan menekankan terhadap calon yang memahami sistem dari suatu negara kesatuan. Calon harus paham dan mampu mengamalkan dalam administrasi pemerintahan daerah nilai-nilai Pancasila, nasionalisme, dan kebangsaan. Calon harus paham secara sempurna  penyelenggaraan pemerintahan nasional dan daerah. Calon harus mampu memahami konstitusi kita, mengetahui dan memahami semua peraturan perundangan nasional.
Selain itu, peraturan dan kebijakan perundangan yang menekankan adanya wakil pemerintah pusat hanya berada di salah satu tingkat dan jenjang pemerintahan perlu disempurnakan. Demikian pula titik berat pelaksanaan otonomi yang diletakkan di salah satu tingkat atau jenjang pemerintah di kabupaten atau provinsi perlu dihapus, karena di negara kesatuan itu pelaksanaan kewenangan pemerintah membentang pada seluruh wilayah dan daerah dari pusat sampai ke daerah. Titik beratnya berada di pemerintah nasional atau pusat, sedangkan kewenangan di pemerintah daerah dilakukan melalui asas desentralisasi.

Adapun titelatur atau sebutan untuk kepala daerah bisa disarankan seperti yang dipergunakan oleh UU No 5 Tahun 1974, misalnya gubernur kepala daerah, bupati/wali kota kepala daerah. Sebutan gubernur, bupati, dan wali kota sebagai jabatan yang mewakili kepentingan pemerintah nasional atau pusat, dan sebutan kepala daerah mewakili kepentingan orang atau pemerintah daerah masing-masing. Calon yang didukung partai politik begitu sudah dipilih oleh seluruh rakyat menjadi kepala  daerah harus menanggalkan aspirasi dan kepentingan partai politiknya beralih menjadi mewujudkan kepentingan seluruh rakyat dan kewajiban negara sebagai abdi rakyat dan abdi negara  dari negara kesatuan yang dicintainya.
Miftah Thoha, Guru Besar (ret) UGM dan Anggota Dewan Pakar MIPI ( Sumber : Kompas 8 juni 2015)

July 24, 2015

Pilkada Satu Putaran, Pilkada Pilih Pasangan Calon



Pilkada Satu Putaran, Pilkada Pilih Pasangan Calon

Mayoritas fraksi di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat menginginkan kepala daerah dicalonkan dan dipilih dalam satu paket dengan wakil kepala daerah. Akibatnya, mekanisme pencalonan yang diatur dalam Undang-Undang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada kemungkinan diubah. ”Mayoritas (fraksi) setuju paket kecuali Fraksi PDI-P dan Fraksi Demokrat,” kata anggota Komisi II, A Malik Haramain, sebelum rapat konsinyering Panitia Kerja Persiapan Perubahan UU Pilkada di Jakarta, Sabtu (31/1).

http://nulisbuku.com/books/view_book/7247/10-langkah-efektif-memanangkan-pilkada

Dalam UU Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pilkada, pemilihan langsung hanya dilakukan terhadap kepala daerah. Sementara wakil kepala daerah dipilih oleh kepala daerah.Malik menuturkan, pertimbangan kepala daerah dipilih berpasangan dengan wakil kepala daerah adalah karena wakil kepala daerah merupakan jabatan politik, bukan karier. Selain itu juga agar wakil kepala daerah memiliki legitimasi yang sama dengan kepala daerah, karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat.

Sementara F-PDIP menginginkan hanya kepala daerah yang dipilih langsung, seperti diatur dalam UU Pilkada, dengan alasan demi efektivitas pemerintahan daerah. ”Pengalaman selama ini, banyak kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi sehingga akibatnya pemerintahan tak berjalan efektif,” kata anggota Komisi II dari F-PDIP, Arif Wibowo.

Konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, menurut Arif, kerap terjadi lantaran wakil kepala daerah merasa memiliki legitimasi yang sama kuat dengan kepala daerah. Dengan pemilihan tidak satu paket, diyakini legitimasi kepala daerah akan lebih kuat. F-PDIP juga mengusulkan pemilihan kepala daerah pengganti untuk mengantisipasi kepala daerah berhalangan tetap. Calon kepala daerah pengganti diusulkan oleh partai politik pengusung kepala daerah yang berhalangan tetap kepada DPRD. DPRD-lah yang berwenang memberikan persetujuan.

Satu putaran  Mayoritas fraksi juga menginginkan pilkada hanya satu putaran. Syarat kemenangan minimal 30 persen perolehan suara sah dalam pilkada diusulkan dihapus. Dengan kata lain, calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis menjadi pemenang pilkada. Selain lebih efisien, lanjut Malik, ambang batas pencalonan kepala daerah, yakni memiliki kursi minimal 20 persen di DPRD atau memperoleh 25 persen suara sah dalam pemilu legislatif, sudah mencukupi. Dengan syarat itu, diyakini tidak akan ada calon kepala daerah yang memperoleh suara di bawah 30 persen.

Didik Supriyanto dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga menyarankan pilkada satu putaran saja. ”Ini agar lebih sederhana dan lebih efisien,” katanya. Empat fraksi, yakni F-PDIP, F-Nasdem, F-Hanura, dan F-PD, tetap menginginkan ambang batas kemenangan calon kepala daerah. Pemenang pilkada adalah calon yang memperoleh suara minimal 30 persen. Jika tak ada calon yang memperoleh suara 30 persen, digelar pilkada putaran kedua.

Jadwal pilkada.  Seiring dengan revisi terbatas yang akan dilaksanakan oleh DPR terhadap UU tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pilkada, Komisi Pemilihan Umum juga mengajukan revisi terhadap sejumlah materi, di antaranya pelaksanaan pilkada serentak. KPU mengusulkan pilkada serentak digelar tahun 2016 dan 2017. Dalam UU Pilkada ditetapkan pilkada serentak dilaksanakan tahun 2015, 2018, dan 2020. ”Kami mengusulkan pilkada serentak pada 2016 dan 2017 saja. Hal ini dengan pertimbangan agar persiapannya lebih matang dan pelaksana tugas kepala daerah pun menjabat tidak terlalu lama, yakni rata-rata hanya setahun, hingga digelar siklus pemilu berikutnya, yakni tahun 2021,” kata komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

Dengan demikian, terkait akhir masa jabatan gubernur, bupati, dan wali kota pada tahun 2015, pilkadanya akan ditarik ke 2016 bersamaan dengan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun tersebut (total sekitar 304 daerah). Sementara bagi kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2017 dan 2018, pilkada akan dilaksanakan tahun 2017. Selanjutnya, bagi kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2019 dan 2020, pemilihan akan digelar pada 2021.

”Kepala daerah yang menjabat tahun 2017 memang akan terpotong setahun (total hanya 4 tahun) karena konsekuensi siklus pilkada serentak berikutnya ditetapkan tahun 2021, demikian seterusnya. Dengan demikian, pilkada serentak akan berlangsung di tengah pemilu nasional, yakni antara periode 2019 dan 2024. Jadi, setiap lima tahun nanti akan terjadi dua pemilihan, yakni pemilihan nasional (pemilihan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPRD, dan DPD) dan pilkada (pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota), dengan jarak waktu pelaksanaannya sekitar 2 tahun,” ujarnya. Hanta Yudha dari Pol-Tracking Institute mendukung usulan revisi siklus pemilu yang diajukan oleh KPU. ”Jika pilkada serentak digelar pada 2015, 2018, dan 2020, masa jabatan Plt terlalu lama, berkisar dua tahunan,” katanya. (SEM/NTA; sumber : kompas,2 Februari 2015)

July 22, 2015

Kawal Pilkada, Selamatkan Daerah



Kawal Pilkada, Selamatkan Daerah
Oleh Ade Irawan
Pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak, yang akan diselenggarakan pada akhir 2015, dapat menjadi peluang dalam pemberantasan korupsi di daerah. Tetapi, apabila tidak dikawal dan diawasi, yang terjadi justru sebaliknya: pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa menjadi ancaman yang akan makin menyuburkan korupsi di daerah.
http://nulisbuku.com/books/view_book/7216/strategi-sun-tzu-menangkan-pilkada

 Korupsi di daerah sudah masuk fase gawat darurat. Dalam beberapa bulan terakhir deretan kasus yang melibatkan pejabat daerah dan DPRD berhasil diungkap aparat penegak hukum, antara lain di Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), Morotai (Maluku Utara), dan Bangkalan (Jawa Timur). Hasil kajian Indonesia Corruption Watch memperlihatkan kasus korupsi di daerah cenderung meningkat setiap tahunnya.
Modus dan proses korupsi
Data yang ada menunjukkan, tren pemberantasan korupsi pada 2013 dan 2014 setidaknya 95 persen kasus berlokasi di kabupaten, kota, dan provinsi.  Kasus korupsi di daerah umumnya memiliki banyak kesamaan dari sisi obyek dan modus, pelaku, serta proses.
Pertama,  obyek dan modus korupsi. Bagi daerah yang memiliki banyak sumber daya alam sasarannya berada di sektor pendapatan. Modus korupsinya dengan obral perizinan, setoran liar, dan mark down pendapatan daerah. Bagi daerah-daerah yang miskin sumber daya alam, konsentrasi korupsi pada sisi belanja. Kasus yang paling banyak terungkap adalah proyek-proyek pengadaan, seperti pembangunan infrastruktur, pembelian barang dan jasa, serta program bantuan kemasyarakatan.
Kedua, pelaku korupsi. Didominasi oleh pegawai satuan kerja perangkat daerah/dinas (SKPD), anggota DPRD, dan kepala daerah. Sebagian besar kasus bahkan melibatkan ketiganya sekaligus. Mereka membentuk semacam jemaah korupsi di daerah. Pihak yang mengawasi dan diawasi justru bersatu padu membobol anggaran daerah. Apalagi dari sisi eksternal, kondisi di sebagian besar daerah, pengawasan dari masyarakat masih sangat minim.
 Ketiga, proses korupsi. Selalu diawali oleh korupsi politik, korupsi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan secara politik di daerah, seperti kepala daerah dan anggota DPRD. Biasanya dilakukan pada saat perencanaan anggaran dengan cara menitip atau memaksa berbagai usulan program atau proyek masuk dalam RAPBD. Mulai dari proyek pengadaan barang dan jasa hingga jatah program bantuan sosial dan hibah. 
Korupsi politik akan dilanjutkan oleh korupsi birokrasi. Hasil kompromi antara kepala daerah dan DPRD akan dieksekusi birokrasi masing-masing SKPD atau badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda). Para abdi negara ini yang bertugas secara teknis untuk memasukkan daftar kegiatan dan proyek titipan ketika APBD dirancang.  Dalam implementasi anggaran, birokrasi di SKPD berperan mengawal dan memuluskan kegiatan dan proyek yang telah dipesan oleh atasan. Caranya dengan memanipulasi proses tender, merekayasa spesifikasi barang, dan bikin kegiatan fiktif.
Birokrasi merupakan eksekutor korupsi karena mereka yang bertugas secara langsung mengimplementasikan anggaran. Bagi sebagian besar birokrasi, perintah atasan-sekalipun bermasalah-adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Walau begitu tak tertutup kemungkinan birokrasi di SKPD berinisiatif sendiri mengorupsi APBD.  Sudah banyak pendekatan untuk menekan korupsi di daerah. Dari sisi regulasi, pemerintah mengeluarkan instruksi presiden mengenai aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, mempromosikan berbagai inovasi mulai dari  e-budgeting,  e-procurement hingga mendorong penyederhanaan kelembagaan dan birokrasi pelayanan publik, seperti program pelayanan satu atap.
 Berbagai pendekatan tersebut ternyata tak terlalu efektif walau juga tak bisa dikatakan gagal dalam mengurangi korupsi di daerah. Sebagian besar hanya menyentuh aspek teknis. Padahal, hulu masalah korupsi di daerah berkaitan aspek politis, terutama komitmen dan keseriusan kepala daerah dan anggota DPRD untuk tidak melakukan korupsi. Prasyarat utama untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi korupsi di daerah adalah adanya pemimpin yang tidak hanya bersih, tetapi juga memiliki keberanian dan komitmen kuat untuk melawan korupsi. Dibutuhkan kepala daerah "juara". Salah satunya yang sering dijadikan rujukan saat ini adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Basuki tidak hanya keras terhadap anak buah yang menyimpangkan kewenangan, tetapi juga berani menolak permintaan "jatah anggaran" dari DPRD.
Para pemimpin yang memiliki komitmen anti korupsi tidak akan menjadikan birokrasinya sebagai operator korupsi. Sebaliknya mereka akan menjaga dan mengawasi anak buahnya. Selain itu, tanpa dipaksa pun mereka akan menggunakan berbagai perangkat,  seperti  e-budgeting,  e-procurement, dan pelayanan satu atap untuk mengurangi korupsi di daerahnya.
Momentum penting
Salah satu momentum penting untuk mendorong munculnya kepala daerah "juara" adalah pemilihan kepala daerah langsung yang akan diselenggarakan secara serentak pada akhir tahun nanti. Sejatinya pilkada adalah alat warga untuk menghukum kepala daerah korup dan mempromosikan kandidat yang lebih berintegritas. Pilkada merupakan momentum penting untuk melawan korupsi di daerah.  Terpilihnya kepala daerah "juara" menjadi modal penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah, seperti yang ingin diwujudkan dalam kebijakan otonomi daerah dan pilkada langsung. Pilkada merupakan kunci keberhasilan penerapan otonomi daerah.
 Setidaknya ada tiga pihak yang bisa berperan besar dalam menjaga pilkada agar melahirkan kepala daerah yang bersih, berkualitas, berani, dan pro pemberantasan korupsi, yaitu partai politik, pemilih, dan penyelenggara pemilihan. Mereka yang akan menentukan korupsi di daerah makin marak atau mulai berkurang. Partai politik dapat berperan dengan cara memilih kandidat terbaik bukan penyedia uang perahu terbanyak. Calon kepala daerah yang mereka usung berasal dari hasil seleksi ketat sehingga tidak menyulitkan pemilih untuk menentukan pilihan. Kekhawatiran munculnya dinasti yang menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi bisa dicegah oleh partai dengan melakukan seleksi yang benar.
 Peran pemilih dengan memilih kandidat terbaik yang diusung partai atau melalui jalur perseorangan. Pertimbangan rasional yang dijadikan dasar membuat pilihan, seperti rekam jejak, visi dan misi, serta program yang usung kandidat. Mereka tidak menukar suara dengan uang atau barang. Sementara penyelenggara berperan dengan menjaga agar proses pemilihan berlangsung jujur dan adil. Mereka tidak memberi ruang bagi kandidat untuk melakukan kecurangan dan korupsi. Apalagi terlibat dalam kecurangan, seperti memanipulasi hasil perhitungan suara.  Memang bukan hal mudah membuat petinggi partai, pemilih, dan penyelenggara pada tingkat lokal untuk bersikap dan bertindak ideal. Karena itu, harus ada pihak yang memulai untuk melakukan perubahan. Dan, perubahan itu bisa dari para ketua umum partai yang benar-benar mengawal proses penyaringan kandidat kepala daerah, pemerintah dengan memperbaiki banyak "lubang" dalam aturan main pilkada,   dan masyarakat sipil dengan melakukan pemantauan pelaksanaan pemilihan.
Ade Irawan, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Sumber: Kompas,22 juli 2015