Kawal Pilkada, Selamatkan Daerah
Oleh Ade Irawan
Pemilihan kepala daerah secara
langsung dan serentak, yang akan diselenggarakan pada akhir 2015, dapat menjadi
peluang dalam pemberantasan korupsi di daerah. Tetapi, apabila
tidak dikawal dan diawasi, yang terjadi justru sebaliknya: pemilihan kepala
daerah (pilkada) bisa menjadi ancaman yang akan makin menyuburkan korupsi di
daerah.
Korupsi di daerah sudah masuk fase gawat darurat. Dalam
beberapa bulan terakhir deretan kasus yang melibatkan pejabat daerah dan DPRD
berhasil diungkap aparat penegak hukum, antara lain di Musi Banyuasin (Sumatera
Selatan), Morotai (Maluku Utara), dan Bangkalan (Jawa Timur). Hasil kajian
Indonesia Corruption Watch memperlihatkan kasus korupsi di daerah cenderung
meningkat setiap tahunnya.
Modus dan proses korupsi
Data yang ada menunjukkan, tren
pemberantasan korupsi pada 2013 dan 2014 setidaknya 95 persen kasus berlokasi
di kabupaten, kota, dan provinsi. Kasus
korupsi di daerah umumnya memiliki banyak kesamaan dari sisi obyek dan modus,
pelaku, serta proses.
Pertama, obyek dan modus korupsi. Bagi daerah yang
memiliki banyak sumber daya alam sasarannya berada di sektor pendapatan. Modus korupsinya dengan obral
perizinan, setoran liar, dan mark down pendapatan daerah. Bagi daerah-daerah
yang miskin sumber daya alam, konsentrasi korupsi pada sisi belanja. Kasus yang
paling banyak terungkap adalah proyek-proyek pengadaan, seperti pembangunan
infrastruktur, pembelian barang dan jasa, serta program bantuan kemasyarakatan.
Kedua, pelaku korupsi. Didominasi oleh pegawai
satuan kerja perangkat daerah/dinas (SKPD), anggota DPRD, dan kepala daerah.
Sebagian besar kasus bahkan melibatkan ketiganya sekaligus. Mereka membentuk
semacam jemaah korupsi di daerah. Pihak yang mengawasi dan
diawasi justru bersatu padu membobol anggaran daerah. Apalagi dari sisi
eksternal, kondisi di sebagian besar daerah, pengawasan dari masyarakat masih
sangat minim.
Ketiga, proses korupsi. Selalu diawali oleh
korupsi politik, korupsi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan
secara politik di daerah, seperti kepala daerah dan anggota DPRD. Biasanya
dilakukan pada saat perencanaan anggaran dengan cara menitip atau memaksa
berbagai usulan program atau proyek masuk dalam RAPBD. Mulai dari proyek
pengadaan barang dan jasa hingga jatah program bantuan sosial dan hibah.
Korupsi politik akan dilanjutkan oleh korupsi
birokrasi. Hasil kompromi antara kepala daerah dan DPRD akan dieksekusi
birokrasi masing-masing SKPD atau badan perencanaan pembangunan daerah
(Bappeda). Para abdi negara ini yang bertugas secara teknis untuk memasukkan
daftar kegiatan dan proyek titipan ketika APBD dirancang. Dalam implementasi anggaran, birokrasi di SKPD
berperan mengawal dan memuluskan kegiatan dan proyek yang telah dipesan oleh
atasan. Caranya dengan memanipulasi proses tender, merekayasa spesifikasi
barang, dan bikin kegiatan fiktif.
Birokrasi merupakan eksekutor korupsi karena
mereka yang bertugas secara langsung mengimplementasikan anggaran. Bagi
sebagian besar birokrasi, perintah atasan-sekalipun bermasalah-adalah kewajiban
yang tidak boleh diabaikan. Walau begitu tak tertutup kemungkinan birokrasi di
SKPD berinisiatif sendiri mengorupsi APBD. Sudah banyak pendekatan untuk menekan korupsi
di daerah. Dari sisi regulasi, pemerintah mengeluarkan instruksi presiden
mengenai aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, mempromosikan berbagai
inovasi mulai dari e-budgeting, e-procurement hingga mendorong penyederhanaan
kelembagaan dan birokrasi pelayanan publik, seperti program pelayanan satu
atap.
Berbagai pendekatan tersebut ternyata tak
terlalu efektif walau juga tak bisa dikatakan gagal dalam mengurangi korupsi di
daerah. Sebagian besar hanya menyentuh aspek teknis. Padahal, hulu masalah
korupsi di daerah berkaitan aspek politis, terutama komitmen dan keseriusan
kepala daerah dan anggota DPRD untuk tidak melakukan korupsi. Prasyarat
utama untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi korupsi di daerah adalah
adanya pemimpin yang tidak hanya bersih, tetapi juga memiliki keberanian dan
komitmen kuat untuk melawan korupsi. Dibutuhkan kepala daerah
"juara". Salah satunya yang sering dijadikan rujukan saat ini adalah
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Basuki tidak hanya keras terhadap
anak buah yang menyimpangkan kewenangan, tetapi juga berani menolak permintaan
"jatah anggaran" dari DPRD.
Para
pemimpin yang memiliki komitmen anti korupsi tidak akan menjadikan birokrasinya
sebagai operator korupsi. Sebaliknya mereka akan menjaga dan mengawasi anak
buahnya. Selain itu, tanpa dipaksa pun mereka akan menggunakan berbagai
perangkat, seperti e-budgeting,
e-procurement, dan pelayanan satu atap untuk mengurangi korupsi di
daerahnya.
Momentum
penting
Salah
satu momentum penting untuk mendorong munculnya kepala daerah "juara"
adalah pemilihan kepala daerah langsung yang akan diselenggarakan secara
serentak pada akhir tahun nanti. Sejatinya pilkada adalah alat warga untuk
menghukum kepala daerah korup dan mempromosikan kandidat yang lebih
berintegritas. Pilkada merupakan momentum penting untuk melawan korupsi di
daerah. Terpilihnya kepala daerah "juara"
menjadi modal penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah, seperti
yang ingin diwujudkan dalam kebijakan otonomi daerah dan pilkada langsung.
Pilkada merupakan kunci keberhasilan penerapan otonomi daerah.
Setidaknya ada tiga pihak yang bisa berperan
besar dalam menjaga pilkada agar melahirkan kepala daerah yang bersih,
berkualitas, berani, dan pro pemberantasan korupsi, yaitu partai politik,
pemilih, dan penyelenggara pemilihan. Mereka yang akan menentukan korupsi di
daerah makin marak atau mulai berkurang. Partai
politik dapat berperan dengan cara memilih kandidat terbaik bukan penyedia uang
perahu terbanyak. Calon kepala daerah yang mereka usung berasal dari hasil
seleksi ketat sehingga tidak menyulitkan pemilih untuk menentukan pilihan.
Kekhawatiran munculnya dinasti yang menjadi salah satu penyebab maraknya
korupsi bisa dicegah oleh partai dengan melakukan seleksi yang benar.
Peran pemilih dengan memilih kandidat terbaik
yang diusung partai atau melalui jalur perseorangan. Pertimbangan rasional yang
dijadikan dasar membuat pilihan, seperti rekam jejak, visi dan misi, serta
program yang usung kandidat. Mereka tidak menukar suara dengan uang atau
barang. Sementara penyelenggara berperan dengan menjaga agar proses pemilihan
berlangsung jujur dan adil. Mereka tidak memberi ruang bagi kandidat untuk melakukan kecurangan dan
korupsi. Apalagi terlibat dalam kecurangan, seperti memanipulasi hasil
perhitungan suara. Memang bukan hal mudah membuat petinggi
partai, pemilih, dan penyelenggara pada tingkat lokal untuk bersikap dan
bertindak ideal. Karena itu, harus ada pihak yang memulai untuk melakukan
perubahan. Dan, perubahan itu bisa dari para ketua umum partai yang benar-benar
mengawal proses penyaringan kandidat kepala daerah, pemerintah dengan
memperbaiki banyak "lubang" dalam aturan main pilkada, dan masyarakat sipil dengan melakukan pemantauan
pelaksanaan pemilihan.
Ade Irawan, Wakil Koordinator Indonesia
Corruption Watch Sumber: Kompas,22 juli 2015
No comments:
Post a Comment