Netralitas TNI-Polri
dalam Pilkada
Oleh : Al Araf[1]
Dinamika pemilihan
kepala daerah pada 2018 diwarnai majunya kandidat kepala daerah berlatar
TNI-Polri. Lima jenderal maju di beberapa wilayah, yakni Jawa Barat, Sumatera
Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Riau. Di tingkat kabupaten dan kota,
beberapa kandidat kepala daerah berlatar TNI. Majunya para kandidat berlatar
TNI-Polri bukan fenomena baru. Dalam pilkada-pilkada sebelumnya, mereka yang
berlatar TNI-Polri ikut berkontestasi. Sebagian berhasil menang.
Pengunduran diri Di dalam negara
demokrasi, semua warga negara memiliki hak yang sama ikut dipilih dalam
pemilihan kekuasaan di daerah (pilkada) ataupun pemilihan kekuasaan di
pemerintahan pusat (pemilu). Namun, anggota TNI dan Polri aktif yang hendak
terlibat dalam politik praktis untuk dapat dipilih dalam pilkada harus
mengundurkan diri terlebih dahulu sebagai anggota TNI dan Polri. Secara
prinsip, anggota TNI dan anggota Polri memang dilarang berpolitik praktis.
Penegasan larangan itu
diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No
2/2002 tentang Polri. Dalam Pasal 39 angka (2) UU TNI disebutkan, prajurit
dilarang terlibat kegiatan politik praktis. Dalam UU Polri Pasal 28 Ayat (1)
disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam
kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Penegasan tentang
larangan itu dalam UU Polri dan UU TNI sesungguhnya mensyaratkan kepada para
anggota TNI dan anggota Polri untuk tidak melakukan langkah politik, seperti
kampanye, sebelum mereka mengundurkan diri. Belakangan ini terdapat kasus calon
kepala daerah berlatar TNI ataupun Polri menempuh langkah-langkah atau
aktivitas politik sebelum mengundurkan diri.
Jauhlah lebih baik apabila
para kandidat sesegera mungkin mengundurkan diri dari keanggotaan TNI dan Polri
jika ingin bersaing dalam pilkada. Dengan pengunduran diri itu, mereka akan
memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa untuk melakukan langkah-langkah
politik.
Meski Pasal 7 huruf t
UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menyebutkan
bahwa pernyataan tertulis pengunduran diri sebagai anggota TNI/Polri dilakukan
setelah ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan, jauh lebih tepat
jika langkah pengunduran diri dilakukan sejak dini ketika mereka mencalonkan
diri sebagai kandidat kepala daerah. Menurut UU TNI dan UU Polri, anggota TNI
dan Polri aktif dilarang berpolitik praktis.
Majunya para kandidat
kepala daerah berlatar TNI ataupun Polri tentu perlu dipertimbangkan dan
dievaluasi dampaknya terhadap organisasi dan profesionalisme TNI-Polri. Bagi
perwira yang sudah melakukan pengabdian lama, apalagi sudah mau memasuki masa
pensiun, tentu dampaknya tak akan besar bagi organisasi dan profesionalisme
TNI-Polri.
Meski demikian, jika anggota TNI dan Polri yang
maju adalah mereka yang masa pengabdiannya masih baru dan belum lama, serta
jenjang kariernya masih panjang, tentu langkah pengunduran diri mereka untuk
dapat maju dalam pilkada akan sedikit banyak memengaruhi organisasi dan
profesionalisme TNI-Polri.
Secara prinsip, dalam
negara demokrasi, tugas dan fungsi utama militer sejatinya adalah dipersiapkan
untuk perang. Militer direkrut, dididik, dilatih, dan dipersenjatai dengan
fungsi utama menghadapi kemungkinan ancaman militer dari negara lain. Fungsi utama TNI adalah alat pertahanan
negara. Sementara tugas dan fungsi utama Polri adalah menegakkan hukum, menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melindungi dan mengayomi masyarakat.
Dalam konteks itu,
sangat disayangkan jika tugas dan fungsi utama TNI dan Polri yang sangat mulia
itu kemudian ditinggalkan para perwira yang masih memiliki karier panjang untuk
maju dalam pilkada ataupun pemilu. Apalagi, pendidikan dan pelatihan di TNI dan
Polri memiliki masa waktu lama dan berjenjang untuk tercapainya profesionalisme
itu. Dengan demikian, sebaiknya mereka lebih berfokus pada pengabdian di TNI
ataupun di Polri.
Netralitas TNI-Polri
Sulit dibayangkan
pengaruhnya terhadap organisasi dan profesionalisme TNI-Polri apabila nanti
banyak anggota TNI-Polri yang masa pengabdiannya belum lama berbondong-bondong
maju dalam pilkada dan pemilu—lalu mengundurkan diri. Mereka yang direncanakan
menjadi pemimpin di lingkungan TNI dan Polri akhirnya mundur karena ingin maju
dalam pilkada. Meski kondisi demikian kecil kemungkinan terjadi, pemimpin TNI
dan Polri perlu mengantisipasinya. Dalam konteks itu, perlu ada aturan main
internal terkait persoalan ini demi menjaga roda organisasi tetap berjalan dengan
baik dan profesional.
Maraknya kandidat dari
kalangan TNI dan Polri dalam pilkada tentu tantangan besar bagi TNI dan Polri
dalam menjaga netralitasnya. Sikap Panglima TNI dan Kapolri yang menegaskan
bahwa anggota TNI dan Polri netral dalam pilkada merupakan langkah baik. Sikap
tegas pemimpin kedua institusi itu diharapkan ditaati hingga level paling
bawah.
Belajar dari Pilpres
2004, Pilpres 2014, dan Pilkada Kepulauan Riau lalu, kita tahu terdapat oknum
anggota yang terlibat dalam kegiatan politik praktis dengan berbagai cara.
Mulai dari memberi sarana ataupun fasilitas kepada pasangan calon tertentu
hingga mengajak warga memilih salah satu pasangan calon yang kemudian
menimbulkan gaduh dan kontroversi.
Dalam negara
demokrasi, sudah keharusan bagi aparat TNI dan Polri netral dan profesional
menjelang dan pada saat pelaksanaan pilkada. Pemihakan kepada salah satu
kandidat atau pemanfaatan situasi politik untuk tujuan lain merupakan bentuk
penyimpangan profesionalitas yang harus dihindari. Dalam konteks ini,
profesionalisme aparat sangat penting dan dibutuhkan untuk menjamin serta
memastikan proses pilkada berjalan aman dan damai. Ini harus diwujudkan dengan
independensinya dan berfokus menjamin keamanan sesuai dengan fungsi dan
tugasnya. Keberpihakan aparat terhadap salah satu kandidat tidak hanya
bertentangan dengan prinsip fairness dalam pilkada, tetapi juga akan mengancam
keamanan pelaksanaan pilkada itu sendiri.
Dalam konteks kini,
pemenangan dalam kontestasi politik elektoral perlu dilakukan dengan mekanisme
demokratis dan metode politik ilmiah. Instrumen partai politiklah yang
seharusnya menjadi topangan memenangi pertarungan kekuasaan di pilkada nanti,
bukan berharap kepada dukungan institusi asal mereka, bukan pula dengan operasi
intelijen, atau cara lama lain yang nondemokratis. Kalaupun nanti ada
perselisihan hasil pilkada, semua pihak harus tetap menggunakan jalur dan
mekanisme hukum yang tersedia.
Sumber : Kompas.id 17 Januari 2018 ; Al Araf Direktur
Imparsial
CARI SITUS JUDI ONLINE TERPERCAYA?
ReplyDeleteSPORTIF?GAK ABAL ABAL? HANYA DI LASKARBOLA88 AYO DAFTARKAN ID KALIAN SEKARANG JUGA!! >> https://www.laskarbola88.net/
Forum ni menarik sekali, menginspirasi saya. Saya harap Anda mengunjungi situs saya juga Agen BandarQQ. Terima kasih banyak temanku!.
ReplyDelete