Pilkada
Serentak 2020 : Munculnya Pola Kepemimpinan
Ala Joko Widodo
Oleh Arya Fernandes
Pilkada
serentak yang digelar 27 Juni lalu menandai terjadinya regenerasi dan perubahan
kepemimpinan di tingkat lokal. Perubahan pertama tampak dari kemenangan tokoh
nonpartai politik pada tiga provinsi, yaitu Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, dan
Khofifah Indar Parawansa. Kemenangan tiga tokoh tersebut menjadi penting
mengingat ketiganya memiliki rekam jejak yang baik, punya pengalaman memimpin
dan inovasi politik di tingkat lokal, serta berasal dari kelompok profesional.
Pilkada
lalu juga menunjukkan kegagalan petahana gubernur/wakil gubernur dalam
mempertahankan kursinya. Dari 10 petahana gubernur/wakil gubernur yang mencalonkan
diri di pilkada provinsi, delapan di antaranya kalah. Hanya dua petahana
berhasil menang, yaitu Ganjar Pranowo di Jawa Tengah dan Lukas Enembe di Papua.
Sementara pilkada di tujuh provinsi digelar tanpa diikuti petahana.
Perubahan
kedua, adanya semangat perubahan politik pemilih di tingkat provinsi yang
ditunjukkan dengan gagalnya sejumlah calon kepala daerah yang memiliki hubungan
dengan dinasti politik lokal. Di antaranya, kekalahan Dodi Reza Alex Noerdin
(putra Gubernur Sumatera Selatan dua periode),
Karolin Margret Natasa (putri Gubernur Kalimantan Barat dua periode) dan
Ichsan Yasin Limpo (adik Gubernur Sulawesi Selatan dua periode).
Dua
perubahan tersebut akan memengaruhi konfigurasi kepemimpinan nasional setelah
Pemilu 2019. Para kepala daerah terpilih pada 2018 tersebut akan menjabat pada
periode 2019- 2024. Waktu tersebut menjadi penting mengingat akan dilaksanakan
pemilu presiden pada 2024. Artinya, pada 2024, Indonesia akan memiliki stok
kepemimpinan nasional yang berlimpah, yang salah satunya berasal dari kepala
daerah di tingkat provinsi, baik yang berasal dari parpol maupun kalangan
profesional.
Perubahan
politik di tingkat lokal pada 2018 ini melanjutkan fenomena kemenangan Joko
Widodo pada 2014, ketika faktor perubahan politik di tingkat lokal akan
memengaruhi prestasi politik di tingkat nasional. Gelombang perubahan di
tingkat lokal ini sejatinya memberi sinyal baru perubahan sirkulasi elite di
tingkat pusat, terutama suksesi dan pergantian kepemimpinan di internal parpol.
Gelombang perubahan di beberapa provinsi membawa pesan yang sama, yaitu soal
pentingnya integritas, inovasi, kompetensi, dan pengalaman kepemimpinan.
Pentingnya pengalaman memimpin itu juga ditunjukkan dari hasil pilkada di
tingkat provinsi lalu. Delapan dari 17 gubernur yang terpilih pernah menjabat
sebagai kepala daerah di tingkat kabupaten/kota.
Kelompok
profesional
Perubahan perilaku pemilih dan perubahan teknologi diperkirakan akan memengaruhi perubahan struktur elite di internal parpol. Perubahan perilaku pemilih tampak dari alasan memilih pemilih yang sangat dipengaruhi faktor kompetensi dan kredibilitas calon dibandingkan faktor identitas dan asal partai. Sejumlah hasil riset yang dilakukan SMRC dan Lembaga Survei Indonesia sejak 2004 menunjukkan pemilih yang semakin rasional. Sementara perubahan teknologi informasi mengubah cara calon dan parpol dalam berkampanye kepada masyarakat.
Survei
nasional yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
sejak 2015 sampai 2017 menunjukkan adanya peningkatan akses publik terhadap
internet dan media sosial. Pada survei Agustus 2017, misalnya, sekitar 30,9
persen atau lebih dari 50 juta pemilih sudah punya akun Facebook.
Dengan
perubahan ini, parpol dipaksa beradaptasi dengan perubahan dan mengakomodasi
kelompok profesional baru dalam struktur kepemimpinan partai. Karena jika
partai masih mengandalkan orang-orang lama yang tak terkoneksi dengan dunia
digital, partai diperkirakan akan kesulitan berkomunikasi dengan pemilih pemula
dan pemilih milenial. Ke depan, parpol yang tak mempunyai koneksi ke teknologi
baru akan kesulitan menghadapi perubahan demografi pemilih. Tak heran apabila
beberapa parpol sejak lama sudah mulai mempersiapkan konsultan profesional
untuk mengelola konten di media sosial dan pengembangan teknologi informasi.
Peran
penting teknologi ini diingatkan oleh Bull dan Aguilar (2016) bahwa kemampuan
dalam mengontrol kapital dan politik tidaklah cukup tanpa kemampuan mengontrol
pengetahuan dan teknologi. Hari ini,
elite profesional adalah kelompok yang paling cepat beradaptasi dengan
perubahan teknologi. Beberapa kepala daerah terpilih, misalnya, mempunyai
kemampuan dalam mengelola isu dan memiliki jumlah pengikut yang banyak di
medsos. Mereka juga punya concern pada isu-isu yang tersegmentasi, seperti
pembenahan tata kota, sosial, dan pemberdayaan masyarakat perdesaan. Elite baru
ini juga memelopori pentingnya isu-isu politik pada level mikro.
Apabila
parpol terbuka dan transparan dalam hal rekrutmen kader dan kepala daerah, saya
kira akan membuat kalangan profesional bergabung dengan parpol. Selama ini,
kelompok profesional masih enggan bergabung karena proses penjaringan yang
masih tertutup dan rentan penggunaan uang dan politik patronase.
Regenerasi politik
Perubahan politik ke depan saya kira akan dimulai dan didorong dari daerah dan tak lagi dari pusat kekuasaan. Dalam lima tahun terakhir, kita memiliki kepala daerah yang berprestasi dan berdedikasi. Meskipun sebagian juga bermasalah karena tersangkut masalah hukum dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, hal itu tak membuat kita berhenti optimis untuk terus mencari orang-orang baik dari daerah.
Dari
sisi usia, misalnya, sensus parpol yang dilakukan CSIS pada 2015 dengan
mewawancarai semua ketua partai pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota
menunjukkan, mayoritas pimpinan partai di daerah berusia di bawah 45 tahun.
Pilkada 2018 ini juga menunjukkan, beberapa gubernur terpilih mempunyai inovasi
dan kepemimpinan politik yang berintegritas.
Politik
Indonesia kontemporer sudah banyak mengalami perubahan, terutama dari sisi
pemilih yang semakin cerdas dan bijak dalam berpolitik. Harapan perubahan
justru harus terus didorong dari parpol, terutama terkait aspek regenerasi,
rekrutmen, dan kaderisasi partai. Beberapa partai sudah mulai terbuka dan
fleksibel dalam melihat tren perubahan pemilih, tetapi sebagian lainnya masih
tertutup. Parpol memang harus mencari jalan tengah dalam hal rekrutmen
pemimpin, yaitu dengan mengombinasikan antara kader dan nonkader profesional.
Arya
Fernandes Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS : Sumber - Pilkada
Serentak dan Kepemimpinan Nasional,
Kompas.id, 20 juli 2018
Forum ini menarik sekali, menginspirasi saya. Saya harap Anda mengunjungi situs saya juga Agen BandarQQ. Terima kasih banyak temanku!.
ReplyDelete