Pilpres
2019 Tanpa Penantang Sebanding, Bagai Badai dalam Secangkir Kopi
SALAH
satu kriteria penting dalam mengukur demokratisasi internal partai ialah sejauh
mana proses kandidasi pejabat publik seperti calon presiden, gubernur, bupati
atau wali kota, berjalan demokratis. Pada umumnya proses nominasi calon di
Indonesia terjadi di ruang-ruang tertutup, dengan elite partai berperan sangat
dominan dalam menetapkan calon. Namun, khusus pada penentuan calon presiden dan
wakil presiden, partai politik tak bisa gegabah memutuskan tanpa mendengar
aspirasi kader atau konstituen secara luas. Pilpres adalah pertaruhan besar
bagi setiap partai, dan oleh karenanya mereka akan berhati-hati dalam
memutuskan siapa yang akan diusung.
Empat pertimbangan Setidaknya ada empat pertimbangan penting
dalam menentukan capres yang akan diusung. Pertama, sejak rezim pemilihan
presiden secara langsung dimulai, elektabilitas calon adalah konsideran utama
dalam penentuan capres. Menurut Donald Stokes (1963), elektabilitas merujuk
pada kekuatan atomik calon (valence) dalam menggaet simpati pemilih, baik itu
karisma, popularitas, maupun reputasi bersih dari korupsi. Setiap partai pasti
ingin menang. Salah satu ukuran meraih kemenangan ialah memilih capres yang
memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan survei yang dilakukan lembaga independen.
Kedua,
di samping elektabilitas, pasangan capres-cawapres harus memenuhi syarat teknis
pencalonan menurut UU Nomor 7 Tahun 2017. Dengan ditolaknya uji materi terkait
dengan syarat minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara menurut hasil Pemilu 2014,
praktis paling banyak hanya tiga pasangan yang akan berlaga di 2019. Sejauh ini
hanya Joko Widodo (Jokowi) yang relatif aman karena sudah dideklarasikan
sebagai capres oleh PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Di luar
itu, jika Prabowo maju sebagai capres, Gerindra cukup menggandeng PKS.
Sementara itu, poros ketiga yang coba digagas Demokrat akan layu sebelum
berkembang jika, misalnya, PKB bergabung dengan poros Jokowi atau PAN malah
merapat ke poros Prabowo.
Ketiga,
relasi antaraktor utama di balik partai juga menentukan capres dan koalisi mana
yang akan dipilih. Contoh paling gamblang ialah sinyal tegas dan terang
benderang yang disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapimnas Partai
Demokrat yang menyatakan kesiapan untuk berkoalisi mendukung Jokowi di 2019
jika Tuhan menakdirkan.
Meski
belum definitif, statement ini tak pernah disampaikan secara terbuka kepada
Prabowo, misalnya. Bahkan, dalam banyak kasus, terutama dalam pilkada-pilkada,
Partai Demokrat dan Gerindra sering berbeda jalan dalam mengusung calon
gubernur. Intinya, publik menangkap bahwa relasi antara SBY dan Jokowi lebih
'intim' ketimbang relasi antara SBY dan Prabowo. Jika SBY gagal mengusung poros
baru di 2019, mungkin Demokrat lebih mudah merapat ke Jokowi ketimbang Prabowo,
kecuali ada deal-deal khusus.
Terakhir,
penentuan capres juga ditentukan kesiapan logistik dan sumber daya.
Bagaimanapun pilpres adalah perhelatan raksasa yang membutuhkan ongkos politik
yang tak sedikit. Jika seorang yang berniat maju di pilpres tak memiliki dana
cukup, ia bisa bergantung pada elektabilitas. Ada gula ada semut. Elektabilitas
yang tinggi memungkinkan seseorang menarik donatur untuk menyumbang kampanye
dan sosialisasi. Jika seseorang yang berambisi maju di pilpres tak memiliki dana
yang cukup, juga tidak ditunjang elektabilitas yang memadai, sebaiknya ia
segera mengubur mimpinya dalam-dalam sebelum berubah jadi penyakit.
Gerbong koalisi lebih panjang Lantas, apakah Jokowi
benar-benar telah memenuhi empat kriteria di atas sehingga baru Jokowi yang
muncul ke permukaan? Kekuatan utama
Jokowi ialah, sebagai petahana, ia memiliki elektabilitas paling tinggi jika
dibandingkan dengan 41 nama capres yang diuji dalam survei. Elektabilitas
inilah yang membuat Jokowi, meski bukan elite partai mana pun, diusung sebagai
capres oleh PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Jika elektabilitas
Jokowi bertahan di papan atas klasemen, atau malah naik, bukan tidak mungkin ia
akan menarik gerbong koalisi yang lebih panjang lagi.
Pertanyaan
kemudian ialah masih mungkinkah Jokowi dikalahkan? Ibarat gelas setengah penuh
atau setengah kosong, jawaban atas pertanyaan sejuta umat ini sangat tergantung
cara pandang kita. Pertama, jika dibaca secara optimistis, tren data survei
nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan kepuasan publik
terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden yang mencapai 72% di kuartal pertama
2018 memang meningkat jika dibandingkan dengan pada September 2017 yang 'hanya'
di kisaran 68%.
Akibatnya,
seperti dipotret Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitas
Jokowi meningkat dalam berbagai simulasi, mulai top of mind (spontan),
semiterbuka maupun tertutup, hingga head to head. Memang jika memakai simulasi
top of mind, elektabilitas Jokowi masih di bawah 50%. Akan tetapi, jika
menggunakan semiterbuka, kedipilihan Jokowi sudah mencapai 53,8%, bahkan 61,4%
jika menggunakan simulasi tiga pasangan.
Di
simulasi top of mind, elektabilitas Jokowi kurang dari 50% karena masih banyak
pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters). Namun, ketika
dikerucutkan ke simulasi semiterbuka atau head to head, proporsi undecided
voters berkurang karena sebaran pilihan terbagi secara proporsional. Ini pola
yang ditemukan di semua lembaga survei yang kredibel. Suara undecided voters
bukan bias anti-Jokowi atau hanya mengerucut ke calon-calon di luar Jokowi.
Di
atas segalanya, jika dibandingkan dengan approval rating dan elektabilitas SBY
di tiga atau empat tahun pemerintahannya di jilid pertama, rating kepuasan
terhadap Jokowi dan tingkat kedipilihannya masih lebih baik. Elektabilitas SBY
baru benar-benar meroket di akhir 2008 atau awal 2009 beberapa bulan jelang
Pemilu Legislatif 2009 ketika bantuan langsung tunai dan efek penurunan harga
BBM bersubsidi menaikkan elektabilitas SBY dan Demokrat.
Meski
demikian, elektabilitas Jokowi sekarang bisa juga dibaca dengan gelas setengah
kosong. Masih ada sebagian pemilih yang puas terhadap kinerja Jokowi tetapi
enggan memilihnya. Inilah gejala terbelahnya 'kepala' dan 'hati' sebagian
pemilih yang disebut George Orwell sebagai doublethink, yakni 'kemampuan
seseorang untuk memercayai dua hal yang bertolak belakang secara bersamaan
tanpa merasa bersalah atau tidak nyaman (disonansi kognitif)'. Mereka mengakui
kinerja petahana baik, tetapi hati mereka sulit menerima Jokowi. Ini terjadi
karena perilaku pemilih bukan semata-mata ditentukan variabel rasionalitas,
melainkan juga faktor emosi dan ideologi. Sejauh ini memang Jokowi relatif
berhasil mengantisipasi menguatnya politik identitas pasca-pilkada Jakarta dan
gejala disonansi kognitif tersebut dengan cara rajin bersilaturahim ke para
kiai. Kontranarasi yang dibuat Jokowi juga termasuk membantah tudingan soal
PKI, framing anti-Islam dan kriminalisasi ulama yang selalu dialamatkan
kepadanya.
Nilai tambah Namun, tantangan terbesar
Jokowi sebenarnya bukan politik identitas, melainkan ancaman kenaikan tingkat
inflasi. Data longitudinal Lembaga Survei Indonesia dan Indikator menunjukkan
bahwa approval rating presiden siapa pun di Indonesia dan elektabilitasnya
sangat ditentukan seberapa sukses ia menjaga rezim inflasi rendah. Jika inflasi
tinggi, pada umumnya kinerja ekonomi akan dipersepsi buruk dan akibatnya
berpengaruh ke approval rating dan elektabilitas petahana. Jika inflasi bisa
ditekan di bawah 4%, kondisi ekonomi nasional akan dipersepsi membaik dan
akibatnya menaikkan approval rating petahana.
Setidaknya
ada dua tantangan terkait dengan inflasi sebelum nominasi capres pada Agustus
2018. Pertama, gejolak harga minyak dunia yang terjadi sejak 2017 hingga awal
2018. Jika pemerintah menaikkan harga BBM, hampir pasti berpengaruh ke approval
rating dan elektabilitas Jokowi. Kedua, siklus inflasi tahunan terkait dengan
Ramadan dan Lebaran tahun ini. Jika inflasi terjadi secara tidak terkendali,
bukan tidak mungkin sebagian dari lima partai yang sebelumnya mencapreskan
Jokowi akan berbalik arah. Terkait hal itu, respons pemerintah, seperti telah
diduga, memilih dengan menambah alokasi subsidi BBM ketimbang menaikkan harga
BBM bersubsidi. Akibatnya, efek gejolak harga minyak dunia sejauh ini belum
berimbas secara elektoral ke petahana.
Intinya,
pekerjaan rumah Jokowi sekarang ialah menentukan siapa cawapres paling tepat
yang punya nilai tambah secara elektoral dan memiliki akseptabilitas di mata
partai-partai pendukung Jokowi. Sementara itu, 'PR' bagi para penantang Jokowi
jauh lebih kompleks. Mereka tak hanya dipaksa menghadirkan capres yang
kompetitif yang potensial mengalahkan Jokowi, tapi juga harus memenuhi syarat teknis
pencalonan yang tinggi.
Hari-hari
ke depan publik akan disuguhi manuver-manuver elite kelas tinggi; dari
pertarungan memperebutkan tiket cawapres, mendorong koalisi alternatif, hingga
tarik-menarik memperebutkan rekomendasi partai untuk mendukung capres-cawapres
tertentu. Manuver politik ini sudah pasti menimbulkan kegaduhan, tapi tampaknya
terbatas di tingkat elite. Meminjam istilah sastrawan Pramoedya Ananta Toer,
intrik dan manuver elite politik yang kerap kita saksikan itu tak lebih dari
sekadar 'badai dalam secangkir kopi'.
Pilpres
dan Badai dalam Secangkir Kopi oleh : Burhanuddin Muhtadi Pengajar FISIP UIN
Jakarta, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Mediaindonesia.com,12
Maret 2018
CARI SITUS JUDI ONLINE TERPERCAYA?
ReplyDeleteSPORTIF?GAK ABAL ABAL? HANYA DI LASKARBOLA88 AYO DAFTARKAN ID KALIAN SEKARANG JUGA!! >> https://www.laskarbola88.net/
Forum ini menarik sekali, menginspirasi saya. Saya harap Anda mengunjungi situs saya juga Agen BandarQQ. Terima kasih banyak temanku!.
ReplyDelete